Minggu, 24 November 2013

Mau Mati di Pasar Seni

Medio Agustus 2013,

Kunjungan kedua saya ke Kuala Lumpur, seperti banyak tempat lain yang saya kunjungi, saya sudah mulai mengenal Kota ini dengan cukup baik. Belum semua, namun paling tidak saya bisa berkuasa di daerah-daerah pusat kota karena sudah mengerti lekuk-lekuk dari Kuala Lumpur.

Kuala Lumpur buat saya adalah hidden paradise. Ya memang kota ini nggak se modern Singapore, atau punya topografi yang stunning macam Hong Kong, namun buat saya ini tetep paradise. Karena semuanya disini murah, dan menyenangkan karena vibrant. Ada beragam suku, budaya, bahkan bahasa yang tercampur disini. Itu yang membuat Kuala Lumpur menyenangkan, paling tidak menurut saya.

Cerita ini bukan tentang santapan kuliner yang enak, atau tentang jalan-jalan ke Petronas Tower. Ini cerita tentang mencari WC di pusat kota Kuala Lumpur. Kalian yang sering pergi tau pasti, bahwa WC yang paling surga itu adalah WC rumah sendiri. Mau seberapa bagus juga WC Hotel, tetep lebih nyaman duduk di WC rumah sendiri, like a boss.

Karena memang nggak nyaman dengan WC di hotel, serta punya kebiasaan aneh untuk menahan buang air besar, saya sukses tidak buang hajat 2 hari pertama di Kuala Lumpur. Namun hari ketiga celaka lah saya. Sehabis menyantap rujak malaysia (yang rasanya enak, dan berbeda dengan rujak punya kita) plus ditambah jajan buah-buahan potong di sekitar petaling street (karena cuaca panas, buah enak nih boy kayaknya). Saya mengalami serangan kebelet di tengah jalan pulang.

Sebenernya situasi semacam itu mirip dengan pilot pesawat kehabisan bahan bakar. Kita harus mengkalkulasi dengan cermat, langkah apa yang mau kita ambil. Jalan pulang ke Apartemen? Kuat nggak nahanya..... Mau cari WC Umum, entah ada dimana... atau numpang?

Setelah mempertimbangkan dengan bijak (baca; udah ga tahan) saya memutuskan masuk ke sebuah toko buku dan fancy terdekat, saya masuk kesana karena ya bangunannya agak keren, jadi wc nya mungkin juga agak keren. Karena saya tengsin, saya nggak langsung buka chit chat mau pinjem wc. belagak dulu lah, pilih-pilih buku gitu. Padahal udah kebelet parah. Kadang gengsi lebih besar dari rasa kebelet. Setelah 5 menit lihat-lihat saya baru memulai operasi cari WC.

Di lantai 2, saya tanya, dimana WC nih?
dia bilang
"downstairs, walk through, turn right."
pemahaman saya sih di sisi kanan gendung. di lantai 1. Maka saya turun dengan agak buru-buru, tapi alamak, sungguh gak ketemu di mana ini WC nya. Hell,....... Padahal toko bukunya nggak besar, tapi saya nggak bisa nemu. Karena teringat pepatah kuno, malu bertanya sesat di jalan, saya putuskan bertanya lagi sama staf di lantai satu. 

Ternyata WC nya gak ada di dalem toko buku, ada di bangunan sebelahnya. Semacam WC terpisah gitu. Lalu saya jalan dan berusaha mencari WC, sesampainya di bangunan sebelah kabar buruk buat saya karena nggak langsung nemu WC, masih harus naik lift ke lantai dua, baru deh ketemu WC nya. Pefcayalah, menemukannya ga segampang kedengarannya waktu kamu ultra kebelet to the max pol mentok banget.

Lalu setelah semuanya selesai, saya keluar dengan perasaan paling bahagia se jagat raya. Karena saya bisa numpang ke WC di negeri orang.

ini tampang bahagia saya kala itu


Late Post; August SEA Trip 2013







Sabtu, 02 November 2013

Cerita Arsenal dari Jakarta


Sudah lama rasanya semuanya berlalu, Juli 2013 lalu di tengah libur semester saya berkesempatan buat menyaksikan jagoan saya bertanding di Jakarta. Buat yang belum tahu, saya menjagokan Arsenal sejak jaman dulu. Saya menyebut diri saya, dan fans-fans Arsenal lain sebagai sekumpulan Pria berhati tegar. Karena tahan tetap setia walau timnya 8 tahun nggak juara.

Tur Asia yang lalu sudah saya endus sejak bulan Desember, akhir tahun 2012, waktu Pak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan kunjungan ke London, Inggris. Salah satu agendanya mampir ke Emirates Stadium, bersua Ivan Gazidis, petinggi Arsenal dalam bidang komersial. Singkat cerita pertemuan yang terkesan basa-basi ini menjadi stimulus buat saya, bersiap-siap kalau-kalau Arsenal mampir ke Indonesia. Benar saja, nggak lama setelah itu ada rilis berita tentang kunjungan Arsenal ke Indonesia, berikut organizer, dan sponsornya. Saya harus segera siap-siap, ujar saya dalam hati.

Sampai di titik ini, semuanya masih abstrak buat saya. Saya punya pengalaman yang nggak sedikit dalam urusan menonton Sepak Bola di Indonesia. Tapi untuk yang skala Internasional saya sih masih boleh di bilang cupu abis. Hanya merasakan getar Piala Asia 2007 dari pinggir jalan di dekat Plaza Senayan, nggak pernah hadir di pertandingan Internasional apapun, dan gagal tiba di Solo ketika Tim Nasional bertanding disana beberapa tahun lalu.

Tapi yang namanya sudah cinta ya susah, tetap aja ada rasa pengen buat menyambangi Jakarta entah bagaimana caranya. Harus bisa melihat mereka bertanding dengan segala cara. Sampai tiba hari penjualan tiket. Untung saja tiket yang di rilis oleh panitia kala itu harganya masih masuk akal dan terjangkau oleh kantong anak kuliah. Plus program diskon yang diberikan oleh sponsor pendamping arsenal di Indonesia. SIngkat cerita segera saja saya kantongi dua tiket dengan tempat duduk belakang gawang. Bukan tempat terbaik, namun saya rasa cukuplah untuk menikmati penampilan jagoan saya di Jakarta.

Perjalanan ke Jakarta saya tempuh bersama seorang rekan saya yang berdomisili di Bogor. Dia juga penyuka Arsenal. Kami berangkat dengan bujet yang nggak terlalu banyak. Selain memang karena menabung untuk hal lain, kami juga pengen merasakan sensasi menjadi "Travelling Fans". Ya mungkin pengalaman kami masih jauh jika dibandingkan Bonek yang lebih ekstrim melakukan bermacam hal dan pengorbanan buat Persebaya ketika away. Tapi cukuplah apa yang kami lakukan ini, menjadi sesuatu yang bisa saya kenang seumur hidup saya.

Dalam perjalanan irit ini, kami menumpang kereta ekonomi. Sebelumnya saya nggak pernah naik kereta kelas ini. Ada rasa takut, karena akan duduk disebelah ayam, atau harus pegal di jalan karena duduk 12 jam. Ya, yang saya tau cuma reputasi negatif tentang kereta ekonomi sebelum saya mengalaminya sendiri. Namun semuanya cuma pikiran negatif saja. Hari-hari berjibaku dengan ayam, atau ditelantarkan di jalan nampaknya sudah lama berlalu. Molor 1 jam dari jadwal, mendapat tempat duduk dengan stop kontak listrik, membawa bekal makanan, belanja lanting di stasiun purwokerto, ah, sebenernya pengalaman itu romantis buat saya.

Satu hal yang nggak akan saya lupa, ketika berangkat, kami duduk diantara pasangan selingkuh. Tempat duduk kelas ekonomi yang saling berhadapan membuat saya dan sang teman menikmati pemandangan live perselingkuhan. Mulai dari si cowok yang berusaha menggantikan peran bapak bagi anak si cewek, mesra-mesraan nya mereka(sumpah kalo mau mesra-mesra an jangan di kereta ekonomi, ngeliatinnya aja pegel) , atau yang paling unik ketika si pasangan selingkuh ini panik karena suami yang asli nelpon. Itu sesuatu yang nggak pernah kami bayangkan sebelumnya. Dini hari, kami tiba di Jatinegara, lalu mampir ke bilangan Matraman untuk mengisi perut dengan nasi goreng kaki lima bersama kolega saya dari Kolese Kanisius Jakarta.

Pertandingan Arsenal saya relatif membosankan, meski bermain indah, rasanya aneh saja melihat lawannya yang cuman Indonesia Selection. Ada perbedaaan yang masif yang saya nikmati ketika melihat mereka bertanding, bagaimana mereka nggak berhenti berusaha ketika melawan tim yang sepele, dan bagaimana mereka menunjukkan teknik dasar yang buat saya sih sangat sempurna. Semuanya menghibur.

Belum chants di stadion, itu satu hiburan tersendiri buat saya yang nggak pernah nonton bola di Eropa. Sungguh malam itu saya jatuh cinta sekali lagi sama Arsenal, dan baju Blue Band nya.

Mengingat masa-masa itu saya cuma bisa mengingat bagaimana dulu saya pernah melakukan sesuatu yang saya jarang lakukan buat tim kesayangan saya. Bagaimana saya mau naik kereta ekonomi yang nggak biasanya saya naiki, bagaimana saya harus bolak-balik Jakarta-Serpong di hari minggu, ah semuanya cuma melempar saya ke romantisme baru tentang Arsenal.

Jangan bilang saya supporter layar kaca, karena ketika bisa, saya hadir untuk mereka.

Satu hari semoga saya bisa menulis cerita dari Emirates Stadium, di Islington sana.



Team Photo Session






all images captured by Ghemma Fauzan Gharay

Jumat, 11 Oktober 2013

Kalau saya sudah apa?

Di sebuah lampu merah dekat perbatasan Kota Jogja, kala itu saya sedang mengendarai sepeda motor saya menuju ke rumah, setelah seharian menghabiskan waktu di banyak tempat, lelah, lengket, dan bau asap. Perasaan yang rutin saya alami ketika senja datang, dan saya masih jauh dari rumah.

Tiba-tiba saja kaca mobil di sebelah saya terbuka. Sebuah sapaan hangat dari teman semasa SMA, lalu seperti biasa, dibawah bayang-bayang time counter lampu merah yang konstan berkedip kami berbicara, bertukar cerita, memang tidak lama, tapi sarat makna. Si teman yang saya temui berkuliah di Universitas yang sama, hanya beda Fakultas. Cerita darinya tentang perjalanan Exchange ke Eropa, serta keikutsertaannya dalam pelbagai lomba terdengar sangat menyenangkan.

Tidak se-menyenangkan itu sih, karena akhirnya saya diam dan balik bertanya pada diri saya sendiri, "Kalau saya sudah ngapain?"

Waktu yang berbeda, ketika saya menjemput kakak saya dari Jakarta di Bandar Udara Adisutjipto, saya berpapasan dengan seorang teman kelas saya. Well, ketika itu adalah masa libur kuliah, jadi cukup aneh bertemu dengannya di Jogjakarta, karena kampus kami punya periode libur yang panjang, dan dia anak Jakarta. Ternyata si teman ini sedang bersiap bertolak dari Jogjakarta untuk pergi ke Seoul Korea. Lomba juga. Jalan-jalan juga. Mendengar cerita serupa dengan teman semasa SMA, saya bertanya lagi.
"Kalau saya sudah Ngapain?"

Iya, saya sudah ngapain ya, setahun berkuliah di Universitas ini, saya lebih banyak melewatkan waktu saya dengan monotn, tidak sia-sia sih. IP saya nggak jelek, kuliah lancar. Tapi aneh saja waktu teman SMA saya bisa melanglang buana sampai Eropa, saya masih gitu-gitu aja.

Di kelas, saya juga menyadari kalau ini aneh, teman-teman sekelas saya, meskipun tidak semua, ada yang rutin berlomba mewakili Universitas ke berbagai penjuru dunia. Untungnya, dia juga cukup berprestasi. Lagi saya bertanya. "Kalau saya ngapain?"

Saya nyadar kalau selama setahun, biar saya nggak jadi mahasiswa nakal, tapi saya belum maksimal memanfaatkan semua peluang yang ada. Sayang aja gitu rasanya, kalau di depan kita ada banyak kesempatan buat pergi jalan kesana kemari, buat mencari pengalaman baru, tapi kita malah memilih melewatkannya gitu aja. Saya melewatkan semuanya selama setahun lalu. Maka 2014 nggak boleh tersia-siakan. Se-enggak-enggaknya hal itu yang jadi motivasi utama saya saat mengawali tahun akademik di bulan September lalu.

Semuanya kejadian begitu aja, sangat cepat.
Biasanya Niat-niat mulia, kayak target yang saya canangkan di awal tahun akademik itu cuma sebatas kata-kata aja. Target doang. Seperti banyak target hidup kita. Tapi yang satu ini rasanya beda. Seminggu setelah mencangkan target, saya mendengar cerita dari teman saya yang baru kembali dari Korea. Barusan menang, dan kembali dari Korea. Ceritanya manis, menang. tapi pahit karena harus berangkat ke Jerman dalam sebulan kedepan. Ngumpulin uang yang 3 digit jumlahnya untuk mengirimkan 7 orang ke Jerman, jelas bukan perkara mudah. Tapi dia bisa. Well, itu cukup sih jadi pencerahan, dengan prinsip lama yang lembek, saya berujar. "kalau dia bisa? kenapa saya enggak?"

Maka saya termotivasi dengan sangat, buat mengiukuti lomba semacam itu segera. Sangat segera, dan ya, semuanya kejadian gitu aja. Saya mendaftar, diterima, dan bekerja sekarang. Harus menyiapkan diri untuk APril 2014, untuk Austria. Saya belum pernah ke Eropa, dan ga mimpi buat kesana dalam waktu 6 bulan, tapi sekarang, semuanya berbeda.

Lucu ya, gimana dua buah pembicaraan bisa mengubah hidup saya. Dari mahasiswa yang flat, mendadak sibuk lomba. Dari anak traveling spesialis ASEAN, tiba-tiba mewakili kampus. Semuanya tiba-tiba. Saya cuma ingat kata-kata yang pernah saya baca di sebuah buku, tentang bagaimana memanfaatkan kesempatan. Peluang. ah...

Kemana saja saya setahun kemarin?

Senin, 12 Agustus 2013

Menyintas Tanah Melayu

Berkereta api menyintas tanah melayu barang kali bukan merupakan hal yang terlalu baru buat saya, 2012 jadi kali pertama saya menyintas melayu diatas kereta api, dan 2013 saya punya kesempatan kedua untuk mengulanginya.

Perjalanan kereta dari kuala lumpur menuju ke singapura benar-benar monoton. Bertolak dengan kereta gerbong lama, yang bahkan tidak memiliki charging station di dalamnya. AC yang teramat dingin, makanan yang minimalis, dan manajemen jalur yangb jujur saja kurang padu. Singkat kata berkereta disini tidak semenyenangkan i Indonesia.

Setidaknya dua gambaran tersebut yang hidup betul dalam benak saya selepas dua perjalanan terdahulu. Namun akhir pekan lalu, saya berkesempatan menjalani perjalanan hang ketiga. Berbeda dengan dua sebelumnya, kali ini perjalanan saya ditempuh pada waktu siang hari, adanya sinar matahari jelas merupakan pembeda tersendiri, karena saya punya kesempatan melihat jalur kereta api melayu dengan jelas, tanpa ditutupi pekaynya sinar malam, dan tak harus dibantu oleh penerangan lampu jalan. Beruntung buat saya lagi, karena sinar matahari disini ada hingga pukul 8 malam. Berarti lebih dari 3/4 perjalanan saya akan terang benderang, sebelum malam datang.

Apa yang saya dapat dari perjalanan kemarin sungguh satu pengalaman yang berbeda, menikmati berkereta di atas jalur kolonial Inggris, jalur yang disebut jalur tengkorak, karena ada banyak pekerja paksa yang gugur ketika pembangunan jalur tersebut.

Sungguh amat berbeda dengan apa yang biasa saya lewati di Indonesia. Sepanjang perjalanan dari KL menuju Singapore, jalan di dominasi dengan single track (satu lajur rel) saja. Tak heran eaktu tempuh KL-Singapore membengkak parah karena kereta harus saling bergantian di jalur2 ini. Kiri-kanan rel juga ditUmbuhi pohon liar yang sangat mepet dengan rel. sehingga pada waktu kereta melaju, gerbong-gerbong ini menghantam dedaunan yang bergantung di sisi-sisi. Sekali lagi, ini sungguh model rel lama yang nggak pernah saya rasakan lagi di Indonesia.

Sulit untuk ga romantis buat kereta api, dan ya, perjalanan menyintas Melayu di siang hari awaktu itu, membuat saya jatuh cinta lagi dengan kereta api, seperti ketika pertama kali dulu. 


Mungkin rel ini bukan rel terbaik di dunia, keretanya pun biasa saja, cuma memang murah. Namun ini sebuah pengalaman teraendiri yang nggak bisa di beli imanapun, menyintas Melayu dalam kereta api diatas jalur Kolonial.


Sabtu, 13 Juli 2013

Preface; The Traveling Fans

Hari ini sabtu pagi 14 Juli 2013 bakalan menjadi hari yang cukup bersejarah buat saya. Setelah sekian lama menanti, akhirnya akan tiba saatnya saya berkesempatan menyakaikan Arsenal, bertanding di Kota Jakarta.

Sebenernya belakangan semuanya terasa cukup membingungkan, antusiasme saya terhadap tur ini mendadak berlipat2, dan ya, saya nggak sabar menanti jam 3 sore nanti, untuk segera memulai rangkaia. Perjalanan ini.

The Traveling Fans akan jadi judul besar tulisan-tulisan saya mengenai perjalanan menuju Arsenal. Menyiapkan akomodasi, menggunakan kereta api kelas rakyat, menukarkan tiket, hingga menonton mereka bermain, dan kembali ke rumah. 

Wish me all the best for this trip! 
The traveling fans, begin!

Rabu, 19 Juni 2013

di ujung hari; nggak naik kelas

kata banyak orang, gagal itu salah satu bagian dari hidup. Ibaratnya kayak Indomi itu hidup, maka minyak, dan bumbu adalah gagal. Satu paket.
Gimana Walt Disney yang dulu sengasara waktu awal-awal kerja, Edison juga gitu, atau Napoleon yang berkali-kali pernah gagal juga. Sampai mati aja dia gagal.

Saya belum lama hidup, belum cukup makan asam garam, belum cukup bijak buat tau mana yang bisa di golongkan sebagai kegagalan, mana yang bukan. Namun dari pendapat umum yang saya tau, naik kelas adalah kegagalan, kegagalan dalam studi. Saya pernah gagal, karena saya pernah nggak naik kelas.

Saya yakin pengalaman nggak naik kelas bukan merupakan pengalaman yang umum. Bukan jenis pengalaman yang dimiliki oleh banyak orang. Lebih banyak orang yang gagal di jenjang pendidikan tinggi, atau karier, di bandingkan dengan gagal di pendidikan menengah. Jadi mungkin membayangkan nggak naik kelas itu akan seperti apa akan sedikit absurd buat banyak orang, atau kebanyakan orang, karena nggak naik, sekali lagi bukan pengalaman yang lumrah.

Buat saya sendiri, waktu saya menerima hasil belajar yang menyatakan bahwa saya tinggal kelas, rasanya aneh. Kebetulan waktu itu ada beberapa kawan yang juga mengalami nasib serupa di kelas saya, 7 orang, iya anda gak salah baca, 7. Ada yang menangis tersedu, ada yang nggak dapat rapot karena liburan ke medan, ada yang sakit jadi nggak naik kelas, sangat beragam reaksinya. Saya? Saya cuma diam, dan berusaha menanggapi ucapan "bela sungkawa" dari teman-teman yang lebih beruntung.

Sangat satir sebenarnya, mengetahui diri tidak bisa naik kelas, namun percaya atau tidak, hari itu, atau minggu itu, sebelum hasil belajar dibagikan, rasa itu sudah ada, rasa kuatir, rasa takut yang besar, menghantui malam-malam saya, menghantui malam-malam sebelum pembagian hasil belajar. Rasa takut macam ini kalau saya ingat-ingat lagi muncul dari rasa bersalah dalam hati, karena belum memberi semuanya all-out. Karena ga cukup berusaha, dan karena sebab-sebab lainnya, yang membuat diri jadi terhambat di kelas yang sama.

Rasa yang sangat menganggu itu hilang beberapa menit sebelum pembagian hasil belajar, waktu saya terlibat pembicaraan singkat dengan Pamong di lorong sekolah.

"Naik gak?"
Aduh, nggak tau Romo...
"Kamu Yakin Naik Nggak?"
Sungguh saya nggak berani yakin buat apapun Romo sekarang.
"Kalau kamu naik gimana?"
Ya saya harus mengejar ketololan saya, soalnya saya tolol banget tahun ini.
"Kalau kamu nggak naik?"
Ya saya ngulang Romo, mbenerin apa yang saya rusak tahun ini.
"Ya sudah, itu yang mau saya dengar."

Selepas pembicaraan itu saya sungguh terlepas dari semua perasaan buruk yang saya rasa. Saya bukan yakin akan naik kelas, tapi saya menjadi yakin bahwa apapun hasilya, itu adalah buah dari usaha saya. Karena saya nggak cukup berusaha tahun itu, maka saya layak buat nggak naik kelas. No worry at all. Kalau saya naik kelas, maka itu adalah bonus, dan saya masih punya PR berat buat mbenerin otak saya.  Ternyata betul, yang kurang nggak didamba semua pelajar terjadi pada saya dan 6 orang teman saya yang lain di kelas. Belum bisa naik, tinggal kelas, nggak naik, atau dalam bahasa umum, Gagal.

Apa yang saya rasa selanjutnya?
Jelas ada rasa kecewa, tapi saya nggak kecewa buat hasil akhir yang saya terima, saya kecewa karena hari-hari sebelumnya saya nggak cukup tabah untuk mau priatin, mau memacu diri di meja belajar, menyiapkan semuanya, supaya terhindar dari vonis maut di akhir tahun ajaran. Saya memilih menghabiskan waktu saya di depan komputer, atau pergi bersama teman-teman, saya nggak cukup berusaha, dan nggak naik adalah konsekuensi logis yang harus saya terima. Jadi saya sungguh kecewa mengapa saya memilih untuk itu dulu.

Meski kecewa, lambat laun saya sadar. Kalau nggak naik saat itu merupakan hadiah tersendiri dalam hidup saya. Jelas anda ga salah baca, hadiah. Mungkin salah satu hadiah terbaik dalam hidup saya. Kenapa sih saya bilang ini hadiah? Karena saya mengalami banyak hal yang membuat saya menjadi pribadi yang lebih rendah hati. Saya lebih terpacu untuk belajar, saya memiliki tanggung jawab komunal di tahun berikutnya untuk tidak cuma naik kelas sendiri, tapi saling menjaga teman-teman yang nggak naik kelas supaya bisa lolos dari lubang jarum di tahun berikutnya, saya belajar banyak, dan sungguh semua pelajaran itu mengajarkan saya tentang apa arti kata "berusaha".

Ini bulan juni, sudah 3 tahun sejak peristiwa yang saya kenangkan ini terjadi, waktu saya lihat ke belakang, saya bangga. Bangga untuk semua yang sudah saya lalui, semua yang sudah saya usahakan kala itu, untuk tetap bisa bertahan, dan memperbaiki kesalahan saya. Saya bangga akan teman-teman saya, serta proses yang boleh saya alami ketika sekolah menengah. Bulan Juni ini mungkin akan ada banyak orang yang mengalami peristiwa pahit macam saya dulu, saya berdoa supaya nggak banyak orang, dan kalau ada yang harus menuai hasil yang kurang memuaskan itu, saya berharap mereka bisa melihat "brightside" dari semuanya ini.

Karena sungguh, gagal dan hidup seperti Indomie dan Bumbu. Sepaket. Tapi kita bisa memilih untuk memasukan bumbu ke Indomie atau tidak. Kita bisa memilih, untuk berusaha keras, dan menghindari gagal. Atau santai asoy, dan di ujung hari, nggak naik kelas. Apa yang kita usahakan di awal nantinya kita petik di akhir.

Salah satu ungkapan favorit saya, yang membuat saya tetap tersenyum di ujung hari adalah;
"Kualitas manusia terlihat dari seberapa tegar Ia menerima kekalahan."

Karena menerima kemenangan, emas, bahagia, dan kesenangan sudah barang tentu bisa dilakukan oleh semua orang, namun ketika gagal, saya lihat ada banak orang yang nggak cukup tangguh buat menghadapinya.

Satu hari kalau belum berhasil, angkat kepala tinggi-tinggi, dan ingat, walau di ujung hari belum berhasil, namun itu bukanlah akhir dunia boy.

Untuk 6 orang teman baik saya yang tinggal kelas.
-
Theodore


11 A4 2009-2010



Sabtu, 15 Juni 2013

Kalau saya beli baju

Situasinya jelas neda dengan jaman dulu waktu saabmasih kecil, persoalan baju adalah sesuatu yang nggak usah dipikir, karena akan selalu tersedia, dan bahkan apa yang akan sayanpakai di pilihkanboleh orang yang lebih tua.

Tapi waktu kita tumbuh besar situasinya jadi agak berbeda. Ada lebih banyak pertimbangan, ada lebih banyak pusing, ada lebih banyak pilihan, dan lain-lain. Ya semuanya tetap simpel, cuma soal baju. Licu sebenernya, gimana seauatu yang dulu sederhana menjadi sedikit kompleks.

Waktu saya lebih besar saya mulai memilih model, lalu ketika saya lebih besar, saya mulai memilih brand atau merk, ketika lebih dewasa saya memilih harga. 

Baju itu memabukan, ada berapa banyak rupoah kalo di total yang di habiskan dunia ini untuk pakaoannya, saya sendori saja mungkin habis banyak untuk kain-kain. Ironisnya kadang kain-kain ini nggak berguna maksimal.

Saya masih suka berpikir kalo memang makin tua itu makin kompleks, seperti memilih baju, dulu simpel sekarang rumit. Tapi namanya bertumbuh pasti harus ada perubahan yang kita telan. Sepertinya.

Selasa, 11 Juni 2013

Penemuan Kaget

Barusan aja, sebelum belajar saya membereskan meja belajar yang penuh dengan kertas-kertas. Meja belajar yang awut-awutan, dan tidak tertata, dan yang termasuk di dalamnya sana adalah catatan-catatan serta memorabilia dari perjalanan saya ke Singapura tahun lalu.

Sebenarnya saya agak gimana gitu, kalau mau cerita tentang Singapura lagi, karena menurut saya blog ini sudah terlalu banyak di suguhi cerita jalan-jalan, tapi ya, daripada cerita di simpan dalam peti? oke.

Sebelumnya mungki nggak banyak yang tau, kalau saya punya kebiasaan mengutil memorabilia dari suatu tempat yang saya kunjungi. Tentu saya nggak membawa pulang TV, atau handuk hotel, biasanya benda-benda kecil seperti tissue, kartu nama, brosur, dan hal-hal lainnya. Termasuk nota, dan catatan kecil yang ada di dompet.

Buat banyak orang hal-hal kayak gini gak lebih dari mulung sampah, tapi entah buat saya itu kayak mengumpulkan memori, yang satuhari bisa di lihat lagi, di buka lagi. Sayangya semua itu belum saya organisir dengan baik. Lebih banyak tergeletak begitu saja di atas meja, tanpa di urus lebih lanjut.

Satu benda yang hari ini menarik perhatian saya adalah catatan kecil, bagaimana saya bisa mencapai quuensway shopping center, tempat yang sebelumnya sudah pernah saya ceritakan disini, buat yang sebelumnya belum tahu apa itu queensway, mungkin bisa cek tulisan saya tentang queensway
Sebuah pusat belanja sepatu di pinggiran Singapura, yang menawarkan barang-barang bagus, dengan harga yang lebih murah dibanding dengan pertokoan kawasan Orchard, atau high-rise shopping center lainnya.

Saat berangkat dari Indonesia, saya nggak tahu sama sekali ada tempat semacam ini di Singapura, dan saya nggak berencana sama sekali buat mengunjungi tempat ini Saya memang suka melihat, atau beli produk-produk olahraga, ada sepatu bola, jersey bola dari team-team yang aneh, dan itu semua kesukaan saya, ada semua di Qway.

Perjumpaan saya dengan tempat ini di mulai dari in-flight magazine, majalah yang saya baca ketika penerbangan tandang ke Singapura. Ada sebuah artikel khusus yang membahas mengenai tempat-tempat macam ini di Singapura, dan salah satunya Qway Shopping center. "A best place to get sports branded stuff in cheap price" Maka setelah membaca uraian singkat itu saya mencatat di buku kecil saya, Queensway Shop Ctr. Buat saya itu sebuah penemuan emas yang nggak terduga.

Buat sampai ke sana kala itu kami mendapat petunjuk dari Singapore Tourism Board, yang sejujurnya masih saya ingat dan kenang dengan baik, karena keramahan mereka dan bantuan yang banyak diberikan ketika saya pergi kesana. Catatan Kecil yang saya temukan malam ini di meja, di tuliskan oleh pegawai STB, rute bus menuju queensway.

Sontak melihat catatan kecil itu malam ini, saya merasa aneh, kalau merefleksikan lagi apa yang kejadian setahun lalu, bagaimana saya menemukan queensway dengan cara yang aneh. Bagaimana menemukan sesuatu yang kita suka dengan cara yang nggak di duga.

Kadang hal-hal kayak gini nggak cuma kejadian dalam kasus menemukan tempat yang okesip begini, ini bisa kejadian atas apapun, kejadian kaget yang membuat simpul tawa manis saat mengingat gimana kita bisa dapet atau masuk dalam penemuan semacam ini.

on june 2013
-
Theodore Wira Adi

Selasa, 28 Mei 2013

Mekdonal mekdonal! Ga jahat ternyata mekdonal!

Lagi, masih soal pergi jauh dari rumah, dan makanan. Tapi jelas cerita saya bukan tentang nasi padang lagi, hehe.

Sebagai anak yang lahir di awal 90-an, saya akrab betul dengan junk food, mulai dari McD, restoran ayam KFC, hingga junkfood yang lebih groovy kayak BK, Subway, etc. taph sebagai generasi yang dekt sama junk food, saya juga sering banget denger cerita seram(mungkin fakta) tentang efek samping makan junk food. Tentu saja cerita nya bukan cerita yang menyenangkan, mulaidari obesitas, sampai penyakit kronis. Seram lah ya pokoknya.

Saat trip pertama saya dulu pegi jauh ke luar negeri, saya yerngiang kata mama saya "jangan makan junk food, rugi jauh-jauh pergi makannya mekdi." Jadi dengan semangat itu aaya berusaha drown into local food. Hasilnya? Uang saya habis -.- karena kalau kita di luar, rata-rata harga makanan lokal yang homemade atau ala carte gitu harganya lebih mahal dari junk food. Situasinya kebalikan di indonesia, satu paket bignac, dapet 4 porsi gudeg pake ayam di suwir. Disana 2 bugmc dapet 1 nasi goreng kira-kira gitu gambarannya.

Tapi ke gep sama harga gak menghentikan saya buat nyoba local food, trip selanjutnya saya bisa me mange semuanya dengan baik. Tapi lama kelamaan kok saya merasa rindu ya, sama makanan tanah air, dan segala ke kemprohannya (jorok). 

Perjalanan terakhir saya masih saya warnai sama antusiasme buat makan makanan lokal setempat. Tapi entah kenapa, bukan nggak enak, tapi kok saya merasa rindu sama makanan indonesia. Saya rasa ini jadi alesan kenapa dulu kakek saya kalo ke praha, london dan mana-mana sangu abon sebaai obat rindu. Karena yang namanya lidahemang ga bisa boong, kecap bangau tau betul soal ini ya to.

Tapi ditengah semua itu, saya merasa sangat terslamatkan sama fast food yang notabene tersebr dimana-mana. Konsep fast food kan jelas, menyajikan burger di amerika dan dimana aja denganstandar rasa yang sama. Jadi walau saya jauh sekali dari rumah, sya tetap bisa mengecap cita rasa bigmac yang biasanya saya makan 500 meter dari rumah saya. Sejenak kangen itu terobati.

Trip terakhir rasanya mengubah sedikit pandangan tentang restoran junk food, ya dengan semua negativitas yang dia punya, ternyata junk food bisa jadi pbat rindu yang mijarab. Waktu saya nggak makan junk food karena murah, dan mau hemat. Tapi karena terlalu jenih sama mknyak wijen, saos LP, saos HP, monyak babi, dan nasi lemak. Saya melemaskan lidah bersama ronal mekdonal...

Senin, 20 Mei 2013

Saya suka cuacanya

Well, saya mungkin termasuk satu dari banyak orang indonesia yang hobi betul mengeluhkan keadaan cuaca. Panas lah, gerah lah, udaranya kotor, polusinya menggila, dan sumuk. Memang lebih dari 20 tahun hidup di tempat ini membuat saya nggak bisa menikmati betul dimana sisi manisnya kepanasan, kegerahan, dan lain-lainnya.

Satu waktu ketika saya pergi menyeberang ke Singapura dan Malaysia, saya merasakan hal yang berbeda, udara nya tetap sumuk. Tapi udaranya bersih juga. Perasaan yang menyenangkan sekali bisa punya udara seperti itu. Namun ttap aja, panas gerah, dan berkeringat.

Saya sejak dari bayi kecil mungkin sudah tergila2 sama udara dingin. AC adalah salah satu benda kesukaan yang gak bisa jauh2 dari saya, apalagi saat tidur malam, udara dingin rasanya sangat manis. Makanya saya sangat suka udara dingin. Sampai suatu saat saya pergi ke asia timur.

Udaranya sejuk, seperti di bandungan setiap hari, tapi suasananya gloomy, mirip dengan London. Berkabut, dingin, dan basah. Buat saya yang suka dingin, itu terasa sip deh pada awalnya. Sampai lama kelamaan saya merasa ada sesuatu yang kecer dari hidup saya

Walau punya udara yang dingin, saya ga punya cukup sinar matahari, dan itu ago y. Gimana rasanya kalau kamu punya cuaca yangstatis, dingin dan gak panas sampai malam datang sepanjang hari? Buat saya lama kelamaan itu terasa aneh. 


Lama kelamaan saya jadi berpikir ulang, apa iya kita, atau saya bener-bener benci sama panas? Apa iya kita lebih cinta dingin?
Karena saya yang punya hari dingin seminggu malah frustasi sambil kedinginan. What a world.....


Kamis, 16 Mei 2013

Eee Nasi Padang!

Sebenernya makan nasi padang bukanlah kesukaan saya dahulu. Karena masakan padang itu identik dengan kepept, waktu hari sudah terlalu larut dan pilihan makanan jadi sangat terbatas, maka nasi padang akan selalu ada, 24 jam dengan menu yang vibrant.

Tapi makin hari, setelah saya tambah gede, saya merasa kok kayaknya saya kualat ya, sudah nyepelin nasi padang sebelumnya. Karena entah kenapa(termotivasi atau terobsesi) saya jadi sangat suka sama rendang, ayam pop, kuah ayam, daun singkong, dan sambel ijo. 

Saya jenis orang yang cukup "geek" sama sesuatu, kalau udah suka, memuja dan memuji, serta mencintai sepenuh hati. Saya masih ingat betul, cinta saya dengan nasi padang dimulai sekitar akhir tahun lalu. Waktu saya selalu selo di senja, dan lapar juga. Kebetulan waktu itu bulan puasa. Walau nggak berpuasa, tapi ikut2an buka puasa kayakny seru. 

Saya dan Richard kala itu, menyambangi restoran padang, setelah sekian lamanya gak pernah mampir ke resto padang.  Karena buka puasa, dapet seat aja cukup susah. Jadi waktu kita dapet seat, gak boleh disia-siain. Harus makan banyak sampaikekenyangan!

Sebenernya itu yang terjadi, kepenuhan, kekenyangan, dan terlalu puas. Sensasi yang saya gambarkan sebagai situasi terbaik untauk mati, mati kekenyangan masakan padang, perfect. 

Sejak kunjungan itu, cinta saya dan masakan padang, secara khusus rendang, mulai terajut. Seperti lagunya ratu, semaki.n hari semakin cinta. Semakin hobi makan dan berkunjung. Ya ya ya. 

Sesuatu yang dulu saya sepelekan, sekarang jadi salah satu makanan primer kesukaan. Saya menyadari kegilaan saya tenta ng makanan padang akhir maret lalu, ketika saya mau pergi ke asia timur benerapa hari. 4jam sbelum pergi saya mampir ke restoran padang. Makan yang banyak lalu mandi, terus brangkat.


Mama saya yang selalu freak out kalau ada yang mau pergi jauh telfon2, dan tanya saya dimana. Saya bilang saya baru makan mqsakan padang. Hening beberapa detik....

Pun setelah saya mendarat di adisucipto, saya melanggar pakem utama bapak saya, buat langsung pulang kerumah. Malahan mampir ke restoran padang saking jemunya dengan masakan china.

Padang padang dan padang. 
Saya nggak bisa bayangin waktu saya pergi jauh dan lama dari rumah, mungkin yang saya rindukan bisa-bisa masakan padang.




Kamis, 18 April 2013

worried, ear.

Sebenernya ini sebuah tulisan minimalis yang boleh dibilang curhat saya tentang hubungan saya dengan duo maut asal Pamulang ini, sebuah kisah yang sayang kalau cuma ditulisa tanpa di bagi. Walaupun kalau di bagi juga gak keren-keren amat. Here we are,

Juni 2012 saya secara tak sengaja berhubungan dengan mereka, Endah n Rhesa untuk mengatur sebuah showcase di Almameter saya, Kolese De Britto, dan kala itu terus terang saja saya belum pernah merasakan sensasi mereka main live, jadi saya nggak bisa memastikan betul, apa yang akan mereka bawa di panggung, apakah macan, atau kucing. Apa keren gila, apa gila jelek banget. Karena buat saya pribadi jujur, recording itu fake, ya beberapa artis emang bisa bikin recording jadi art, tapi ga sedikit yang bersembunyi di balik recording session mereka buat nambal sulam kekurangan yang ada di kanan kiri, dan waktu saya belum tau, Endah n Rhesa(later di singkat ear) jenis musisi yang mana.

"Meleleh Waktu Check Sound"
Al-kisah sehari sebelum acara, waktu saya nggak sengaja sedang terhampar di lapangan sekolah waktu Check Sound akan di mulai, wedus gila, Mas Jangfang yang kala itu mencari sound composition yang tepat pakai gitar Cole Clark nya Endah membuat kuping saya merasakan sensasi yang macan. Macan abis. Hanya sebentar saya terhampar di lapangan, ketika saya kembali, mereka sudah dalam bentuk duo emnyanyikan satu lagu sapaan buat panitia yang ada di sana, Thousand candles light blablabla judulnya,s aya masih ingat betl, dan wedus. Itu menyenangkan sekali, sound chemistryyang mereka bawa sungguh berbeda namun loveable.

Beberapa minggu ke belakang, saya dimintai tolong untuk menghubungkan seorang teman dengan ear, sekolah mereka ingin memboyong ear ke Jogja untuk sebuah acara internal. Well, bukan perkara gampang menurut saya, karena sebelumnya saya bisa membawa mereka ke jogja, sebab bantuan dari luck yang entah dari mana datangnya. Benar saja, ketika pembicaraan telepon dimulai, saya kalut setengah mati, karena jadwal acara dan jadwal ear tidak saling bertemu. Sayangnya lagi, pada akhir dari cerita booking-bookingan ini, ada keajaiban lagi, kerendahan hati teman-teman ear untuk cancel jadwal bermain di kota lain di jawa barat untuk kami di jogja. Bantuan-bantuan macam ini kadang sering datang dengan sendirinya, dan ya, saya nggak bisa berbuat lebih banyak selain bersyukur, dan bersyukur banget, karena apa yang awalnya seems njelimet, akhirnya bisa terurai pelan-pelan.

Selang waktu berjalan, sejak saya menulis blog post ini, saya hanya berjarak beberapa hari saja dngan shocase mereka, dan sejujurnya saya amat sangat kuatir. Saya kuatir apakah mereka akan puas dengan kunjungan mereka ke Jogja kali ini, saya kuatir apakah mereka akan bisa gembira dan menampilkan nada-nada terbaiknya di atas pentas akhir minggu nanti. Kuatir, seperti biasa. Sedikit lucu karena sebenarnya saya nggak berdiri untuk apapun disini, namun rasa kuatir itu nggak bisa hilang.

"Obatnya cuma satu"
Waktu kamu kerja sama banyak orang, waktu kamu kuatir akan pekerjaanmu itu, kamu cuma bisa melakukan satu hal. Obat manjur paling ampuh yang menyintas semuanya. Percaya sama sekitarmu. Sudah berapa kali saya mengucap ini, sudah berapa kali saya bilang kalau percaya itu susah, ndak gampang. Namun ya, selalu ada hadiah buat orang percaya. Sayapun berusaha untuk percaya, bahwa semuanya telah diurus dengan baik dan akan baik-baik saja. Semoga showcase jogja ini berkesan buat mereka.

Semoga

Selasa, 16 April 2013

Senin, Dosen, Darth Vader.

Banyak banget ungkapan kece yang menjelek-jelekan hari Senin dewasa ini. Mulai dari I Hate Monday, atau lain-lainnya. Filosofi dasarnya jelas datang karena hari Senin adalah hari pertama orang-orang kembali ke tengah aktivitas rutin mereka, setelah beristirahat di hari Minggu, santai-santai kayak di Pantai, dan sebagainya. 

Saya sendiri kurang ngeh dengan diskriminasi terhadap hari Senin ini, karena buat saya semua hari sama to ya to? tetap harus hidup, dan beraktivitas, yang membedakan cuma apa aktivitasnya, tapi sesungguhnya Senin juga sip kok ya(terutama karena jadwal semester pertama saya kemarin sangat selo di hari Senin hehe)

Tapi senin kemarin di jam kuliah terakhir entah kenapa saya merasakan kombinasi antara lelah, letih, bosan, dan ngantuk di Ruang Kuliah. Sesungguhnya hal itu  juga dialami teman-teman sekitar saya, tekluk-tekluk ngantuk mendengarkan sang Dosen memberikan kuliah.

Kalau boleh saya bercerita sedikit tentang beliau, beliau ini sebenarnya seorang Dosen yang menurut pandangan saya pribadi cukup senior (secara usia), akan tetapi tidak cukup menyenangkan bagi sebagian dari kami untuk menikmati kuliahnya. Mulai dari slide yang bikin jereng mata, nada bicara yang terlalu sulit digapai, atau alasan-alasan lainnya. Alasan lho ya, bukan fakta. Situasi itu membuat beberapa mahasiswa melewatkan mata kuliahnya, "dosennya membonsankan" atau "materi kuliahnya ga menarik", and so on, and so on.

Situasinya jadi cukup berbeda buat saya Senin kemarin, dengan segala lemas dan kawan-kawannya hinggap di tubuh saya, sang dosen mengumumkan hasil ujian kami pada Ujian Tengah Semester yang lalu. Ketika hasilnya dibacakan? Saya lega, karena nilai saya cukup, tapi saya kaget setengah mati ketika melihat list nilai di kertas yang beliau bawa. Sungguh ada banyak kombinasi angka-angka disana, mulai dari kepala 9 hingga kepala 3, dan jumlahnya merata. Well, mungkin situasi itu biasa di dbangku kuliah, saya nggak tahu, namun yang pasti hal tersebut cukup membuat saya kaget setengah mati.

Sepanjang kuliah saya memikirkan nilai saya, yang sekali lagi, gak jelek-jelek amat, walau gak bagus-bagus banget juga. Dekat dengan batas maksimal, dekat dengan batas minimal. Pas, kayak coffeemix. Sejujurnya semalam sebelum ujian mata kuliah ini, saya belajar sambil menghardik si dosen dalam hati. Belajar sungguh-sungguh, sambil menghardik sungguh-sungguh. Bagaimana materinya yang jauh dari menarik, dan mata saya yang panas karena slide nya banyak banget kayak semut. Belum lagi ke alpaan catatan pada setiap pertemuan di kelas, karena hanya cerita-cerita-cerita, tanpa ada poin yang spesifik di tunjuk, and so on, and so on.

Dalam perenungan Hari Senin itu tiba-tiba saya nyadar, ada banyak banget keluhan yang saya sampaikan malam itu tentang si dosen, dan hal ini mengingatkan sama kelakuan saya sendiri saat menjelang akhir Sekolah Dasar, saya ingat betul ketika itu saya mencari justifikasi atas nilai ngepas saya, menyalahkan kiri, kanan, muka, belakang, bahkan kalau perlu meja sekolah juga di salahkan. tapi saat itu isu nya sama sih, menyalahkan sang pengajar, akrena kealpaannya dalam memberi materi. Saya ingat betul ketika saya mengeluh macam itu Kakak Perempuan saya berujar "Kamu nggak bisa milih Guru-mu, apa yang ada, suka nggak suka, ya harus kamu hadapi, toh teman-temanmu bisa."

Ya, lucu aja sudah sebongsor kita masak iya masih mau menyalahkan pengajar, sengantuk apapun, semua kan terjadi buat alasan yang pasti. Nggak mungkin juga ada orang yang bisa dapet nilai lebih baik dengan pengajar yang sama, tapi kita nggak bisa. Kerja keras dan usaha lagi-lagi ambil bagian. Saya ingat betul pasca Kakak saya melontarkan kalimat itu ketika saya masih SD, saya juga akhirnya bisa mengatasi apapun jenis Guru, hingga SMA.

Hasil ujian yang pas kayak coffeemix juga jadi jawaban, betapa mungkin kok dapet nilai lumayan kalau mau belajar. Coba belajar lebih keras lagi, bisa dapet yang lebih dari cofffeemix to ya to?
Mau Darth Vader juga yang jadi dosen pada akhirnya kita juga bisa kan, karena nggak ada yang nggak mungkin kecuali makan kepala sendiri.

Rabu, 03 April 2013

sudah pulang, terus lihat ke belakang

Seperti yang sudah-sudah di uraikan di blog saya sebelumya, saya sudah sampai Hong Kong. Cerita saya di Hong Kong mungkin ada banyak, mulai dari lost in translation, sampai di kejar orang Arab di Hong Kong, ada beragam, walau ga semuanya tercakup dalam perjalanan kemarin, ga di tulis secara langsung seperti biasanya.

Melihat perjalanan ke hong kong kemarin, rasanya sedikit unik deh buat saya, bagaimana saya bisa sampai kesana, tanpa di duga, tanpa di sangka. Sebenernya perjalanan saya ke luar negeri 2-3 tahun belakangan terasa sedikit aneh, karena serba kebetulan, serba asal ambil, asal berangkat, dan yah, berangkat betul. Singapura 2011,2012, Kuala Lumpur tahun yang sama, 2013 Hong kong. Semuanya gak pernah benar-benar saya mimpikan, tapi tawaran itu datang dengan sendirinya.

Bersyukur jelas, tapi rasanya masih aneh aja, dalam tempo sesingkat ini saya punya travelling trip yang cukup berwarna, nggak banyak mungkin, tapi buat saya menjelajah asia berwarna sekali. Sebenernya lagi, saat ada yang tanya kenapa saya terobsesi sama pergi jauh ke banyak kota, jawabannya simpel, karena Hardcase guitar milik seorang artis indiepop. Hardcasenya buluk, ada identitas nama dan band nya, namun ada banyak stiker security check bandara yang menempel di dalamnya, dan itu sebenarnya cukup menyenangkan, bisa kemana-mana dibayarin, main gitar, terus balik.

Tapi membuat band terus mulai menyanyi, kayaknya bukan pilihan buat saya, karena saya nggak bisa nyanyi, dan nggak bisa main guitar, deadlock sudah kalau mau jalan2 merintis dari jalur musik. Jadi saya memilih jadi traveller kelas teri, traveller santai yang dibawa air asia kemana-mana, tergantung promo, dan kemudahan akses ke suatu negara asing. Makanya tujuan saya sangat terbatas di seputaran Asean, karena mudah Visa nya, mudah penerbangannya, mudah semuanya. Sejujurnya model perjalanan seperti ini baru terjadi dua kali, yang pertama ketika berangkat ke Singapura 2012 dan Malaysia bersama 2 orang teman saya, Yogi dan Rivan, yang lain lagi baru akan terjadi 2013 esok. Perjalanan yang di picu promo tiket murah, kemudahan akses, dan Air Asia.

Melihat record perjalanan saya, saya rasa Vietnam sudah akan menjadi tujuan paling okesip yahoo! paling jauh, paling mahal, dan paling mungkin. Hongkong? mimpipun saya nggak berani buat saat ini. Itu negara yang unknown sekali buat saya. Tapi maret ini karena pekerjaan tiba2 saja saya berdiri di Victoria Harbour, Seminggu saya berdiri melihat Avenue of the stars dari atas perahu, atau showcase lampu2 gedung Hong Kong yang berbinar, sampai gelap malam terasa seperti senja, saking terangnya lampu2 gedung ini. Ya, siapa sangka.
Lagi, Bersyukur? Jelas, gak semua orang bisa mendapat kesempatan perjalanan macam ini, buat saya, ini sudah sangat sangat mengejutkan.

Kadang saya suka merasa geli kalau mendengrkan record band kesukaan saya, white shoes & the couples company yang bermain live diatas atap gedung Le Bishop Hotel Hong Kong. Video itu, suara itu rasanya terlalu jauh di bagian timur asia, tapi siapa sangka minggu lalu saya bisa berdiri di tempat yang sama. Merasakan dinginnya angin peralihan musim(yang langka karena Indonesia cuma 2 musim dalam setahun) dan melihat sisi spektakuler dari hong kong, pembangunan yang menantang keadaan alam nya.


Kata Bambang Pamungkas jangan pernah takut buat bermimpi, kata siapa itu, letakkan mimpi 5 cm di depan kepala, kata saya, mau mimpi apa enggak mimpi, kadang di kenyataan kamu dapet hal-hal yang baik, tinggal gimana kamu mensukuri nya kan ya kan?

Jogjakarta, April 2013