Rabu, 19 Juni 2013

di ujung hari; nggak naik kelas

kata banyak orang, gagal itu salah satu bagian dari hidup. Ibaratnya kayak Indomi itu hidup, maka minyak, dan bumbu adalah gagal. Satu paket.
Gimana Walt Disney yang dulu sengasara waktu awal-awal kerja, Edison juga gitu, atau Napoleon yang berkali-kali pernah gagal juga. Sampai mati aja dia gagal.

Saya belum lama hidup, belum cukup makan asam garam, belum cukup bijak buat tau mana yang bisa di golongkan sebagai kegagalan, mana yang bukan. Namun dari pendapat umum yang saya tau, naik kelas adalah kegagalan, kegagalan dalam studi. Saya pernah gagal, karena saya pernah nggak naik kelas.

Saya yakin pengalaman nggak naik kelas bukan merupakan pengalaman yang umum. Bukan jenis pengalaman yang dimiliki oleh banyak orang. Lebih banyak orang yang gagal di jenjang pendidikan tinggi, atau karier, di bandingkan dengan gagal di pendidikan menengah. Jadi mungkin membayangkan nggak naik kelas itu akan seperti apa akan sedikit absurd buat banyak orang, atau kebanyakan orang, karena nggak naik, sekali lagi bukan pengalaman yang lumrah.

Buat saya sendiri, waktu saya menerima hasil belajar yang menyatakan bahwa saya tinggal kelas, rasanya aneh. Kebetulan waktu itu ada beberapa kawan yang juga mengalami nasib serupa di kelas saya, 7 orang, iya anda gak salah baca, 7. Ada yang menangis tersedu, ada yang nggak dapat rapot karena liburan ke medan, ada yang sakit jadi nggak naik kelas, sangat beragam reaksinya. Saya? Saya cuma diam, dan berusaha menanggapi ucapan "bela sungkawa" dari teman-teman yang lebih beruntung.

Sangat satir sebenarnya, mengetahui diri tidak bisa naik kelas, namun percaya atau tidak, hari itu, atau minggu itu, sebelum hasil belajar dibagikan, rasa itu sudah ada, rasa kuatir, rasa takut yang besar, menghantui malam-malam saya, menghantui malam-malam sebelum pembagian hasil belajar. Rasa takut macam ini kalau saya ingat-ingat lagi muncul dari rasa bersalah dalam hati, karena belum memberi semuanya all-out. Karena ga cukup berusaha, dan karena sebab-sebab lainnya, yang membuat diri jadi terhambat di kelas yang sama.

Rasa yang sangat menganggu itu hilang beberapa menit sebelum pembagian hasil belajar, waktu saya terlibat pembicaraan singkat dengan Pamong di lorong sekolah.

"Naik gak?"
Aduh, nggak tau Romo...
"Kamu Yakin Naik Nggak?"
Sungguh saya nggak berani yakin buat apapun Romo sekarang.
"Kalau kamu naik gimana?"
Ya saya harus mengejar ketololan saya, soalnya saya tolol banget tahun ini.
"Kalau kamu nggak naik?"
Ya saya ngulang Romo, mbenerin apa yang saya rusak tahun ini.
"Ya sudah, itu yang mau saya dengar."

Selepas pembicaraan itu saya sungguh terlepas dari semua perasaan buruk yang saya rasa. Saya bukan yakin akan naik kelas, tapi saya menjadi yakin bahwa apapun hasilya, itu adalah buah dari usaha saya. Karena saya nggak cukup berusaha tahun itu, maka saya layak buat nggak naik kelas. No worry at all. Kalau saya naik kelas, maka itu adalah bonus, dan saya masih punya PR berat buat mbenerin otak saya.  Ternyata betul, yang kurang nggak didamba semua pelajar terjadi pada saya dan 6 orang teman saya yang lain di kelas. Belum bisa naik, tinggal kelas, nggak naik, atau dalam bahasa umum, Gagal.

Apa yang saya rasa selanjutnya?
Jelas ada rasa kecewa, tapi saya nggak kecewa buat hasil akhir yang saya terima, saya kecewa karena hari-hari sebelumnya saya nggak cukup tabah untuk mau priatin, mau memacu diri di meja belajar, menyiapkan semuanya, supaya terhindar dari vonis maut di akhir tahun ajaran. Saya memilih menghabiskan waktu saya di depan komputer, atau pergi bersama teman-teman, saya nggak cukup berusaha, dan nggak naik adalah konsekuensi logis yang harus saya terima. Jadi saya sungguh kecewa mengapa saya memilih untuk itu dulu.

Meski kecewa, lambat laun saya sadar. Kalau nggak naik saat itu merupakan hadiah tersendiri dalam hidup saya. Jelas anda ga salah baca, hadiah. Mungkin salah satu hadiah terbaik dalam hidup saya. Kenapa sih saya bilang ini hadiah? Karena saya mengalami banyak hal yang membuat saya menjadi pribadi yang lebih rendah hati. Saya lebih terpacu untuk belajar, saya memiliki tanggung jawab komunal di tahun berikutnya untuk tidak cuma naik kelas sendiri, tapi saling menjaga teman-teman yang nggak naik kelas supaya bisa lolos dari lubang jarum di tahun berikutnya, saya belajar banyak, dan sungguh semua pelajaran itu mengajarkan saya tentang apa arti kata "berusaha".

Ini bulan juni, sudah 3 tahun sejak peristiwa yang saya kenangkan ini terjadi, waktu saya lihat ke belakang, saya bangga. Bangga untuk semua yang sudah saya lalui, semua yang sudah saya usahakan kala itu, untuk tetap bisa bertahan, dan memperbaiki kesalahan saya. Saya bangga akan teman-teman saya, serta proses yang boleh saya alami ketika sekolah menengah. Bulan Juni ini mungkin akan ada banyak orang yang mengalami peristiwa pahit macam saya dulu, saya berdoa supaya nggak banyak orang, dan kalau ada yang harus menuai hasil yang kurang memuaskan itu, saya berharap mereka bisa melihat "brightside" dari semuanya ini.

Karena sungguh, gagal dan hidup seperti Indomie dan Bumbu. Sepaket. Tapi kita bisa memilih untuk memasukan bumbu ke Indomie atau tidak. Kita bisa memilih, untuk berusaha keras, dan menghindari gagal. Atau santai asoy, dan di ujung hari, nggak naik kelas. Apa yang kita usahakan di awal nantinya kita petik di akhir.

Salah satu ungkapan favorit saya, yang membuat saya tetap tersenyum di ujung hari adalah;
"Kualitas manusia terlihat dari seberapa tegar Ia menerima kekalahan."

Karena menerima kemenangan, emas, bahagia, dan kesenangan sudah barang tentu bisa dilakukan oleh semua orang, namun ketika gagal, saya lihat ada banak orang yang nggak cukup tangguh buat menghadapinya.

Satu hari kalau belum berhasil, angkat kepala tinggi-tinggi, dan ingat, walau di ujung hari belum berhasil, namun itu bukanlah akhir dunia boy.

Untuk 6 orang teman baik saya yang tinggal kelas.
-
Theodore


11 A4 2009-2010



Sabtu, 15 Juni 2013

Kalau saya beli baju

Situasinya jelas neda dengan jaman dulu waktu saabmasih kecil, persoalan baju adalah sesuatu yang nggak usah dipikir, karena akan selalu tersedia, dan bahkan apa yang akan sayanpakai di pilihkanboleh orang yang lebih tua.

Tapi waktu kita tumbuh besar situasinya jadi agak berbeda. Ada lebih banyak pertimbangan, ada lebih banyak pusing, ada lebih banyak pilihan, dan lain-lain. Ya semuanya tetap simpel, cuma soal baju. Licu sebenernya, gimana seauatu yang dulu sederhana menjadi sedikit kompleks.

Waktu saya lebih besar saya mulai memilih model, lalu ketika saya lebih besar, saya mulai memilih brand atau merk, ketika lebih dewasa saya memilih harga. 

Baju itu memabukan, ada berapa banyak rupoah kalo di total yang di habiskan dunia ini untuk pakaoannya, saya sendori saja mungkin habis banyak untuk kain-kain. Ironisnya kadang kain-kain ini nggak berguna maksimal.

Saya masih suka berpikir kalo memang makin tua itu makin kompleks, seperti memilih baju, dulu simpel sekarang rumit. Tapi namanya bertumbuh pasti harus ada perubahan yang kita telan. Sepertinya.

Selasa, 11 Juni 2013

Penemuan Kaget

Barusan aja, sebelum belajar saya membereskan meja belajar yang penuh dengan kertas-kertas. Meja belajar yang awut-awutan, dan tidak tertata, dan yang termasuk di dalamnya sana adalah catatan-catatan serta memorabilia dari perjalanan saya ke Singapura tahun lalu.

Sebenarnya saya agak gimana gitu, kalau mau cerita tentang Singapura lagi, karena menurut saya blog ini sudah terlalu banyak di suguhi cerita jalan-jalan, tapi ya, daripada cerita di simpan dalam peti? oke.

Sebelumnya mungki nggak banyak yang tau, kalau saya punya kebiasaan mengutil memorabilia dari suatu tempat yang saya kunjungi. Tentu saya nggak membawa pulang TV, atau handuk hotel, biasanya benda-benda kecil seperti tissue, kartu nama, brosur, dan hal-hal lainnya. Termasuk nota, dan catatan kecil yang ada di dompet.

Buat banyak orang hal-hal kayak gini gak lebih dari mulung sampah, tapi entah buat saya itu kayak mengumpulkan memori, yang satuhari bisa di lihat lagi, di buka lagi. Sayangya semua itu belum saya organisir dengan baik. Lebih banyak tergeletak begitu saja di atas meja, tanpa di urus lebih lanjut.

Satu benda yang hari ini menarik perhatian saya adalah catatan kecil, bagaimana saya bisa mencapai quuensway shopping center, tempat yang sebelumnya sudah pernah saya ceritakan disini, buat yang sebelumnya belum tahu apa itu queensway, mungkin bisa cek tulisan saya tentang queensway
Sebuah pusat belanja sepatu di pinggiran Singapura, yang menawarkan barang-barang bagus, dengan harga yang lebih murah dibanding dengan pertokoan kawasan Orchard, atau high-rise shopping center lainnya.

Saat berangkat dari Indonesia, saya nggak tahu sama sekali ada tempat semacam ini di Singapura, dan saya nggak berencana sama sekali buat mengunjungi tempat ini Saya memang suka melihat, atau beli produk-produk olahraga, ada sepatu bola, jersey bola dari team-team yang aneh, dan itu semua kesukaan saya, ada semua di Qway.

Perjumpaan saya dengan tempat ini di mulai dari in-flight magazine, majalah yang saya baca ketika penerbangan tandang ke Singapura. Ada sebuah artikel khusus yang membahas mengenai tempat-tempat macam ini di Singapura, dan salah satunya Qway Shopping center. "A best place to get sports branded stuff in cheap price" Maka setelah membaca uraian singkat itu saya mencatat di buku kecil saya, Queensway Shop Ctr. Buat saya itu sebuah penemuan emas yang nggak terduga.

Buat sampai ke sana kala itu kami mendapat petunjuk dari Singapore Tourism Board, yang sejujurnya masih saya ingat dan kenang dengan baik, karena keramahan mereka dan bantuan yang banyak diberikan ketika saya pergi kesana. Catatan Kecil yang saya temukan malam ini di meja, di tuliskan oleh pegawai STB, rute bus menuju queensway.

Sontak melihat catatan kecil itu malam ini, saya merasa aneh, kalau merefleksikan lagi apa yang kejadian setahun lalu, bagaimana saya menemukan queensway dengan cara yang aneh. Bagaimana menemukan sesuatu yang kita suka dengan cara yang nggak di duga.

Kadang hal-hal kayak gini nggak cuma kejadian dalam kasus menemukan tempat yang okesip begini, ini bisa kejadian atas apapun, kejadian kaget yang membuat simpul tawa manis saat mengingat gimana kita bisa dapet atau masuk dalam penemuan semacam ini.

on june 2013
-
Theodore Wira Adi