Senin, 05 November 2012

gardikagigih

"pemain pianika, dan komponis musik dari yogyakarta"

Scene musik indiepop mungkin bukan makanan baru buat saya, makanan, bukan mainan. Karena saya cuma mengkonsumsinya, tanpa pernah terlibat sedikitpun dalam proses di dalamnya. Indiepop ini juga sejujurnya jadi passion saya dalam mendengarkan musik, karena lewat indiepop, saya bisa menyimak band-band yang nggak headline, tapi karya musiknya sangat manis. Dalam perpspektif yang berbeda, beberapa orang bilang selera musik saya aneh, meski tidak sedikit yang setelah "mencicipi" selera musik saya, malah jadi ikut-ikutan suka.

Semuanya berawal dari
sebuah perintah sederhana ayah saya, yang meminta saya untuk memberi perhatian lebih dalam setiap hal yang saya kerjakan. Semacam doktrin dari masa balita, sampai sebesar ini masih terus tertanam. Kadang hal ini membawa saya berkenalan dengan barang-barang langka(baca: musik indiepop). Saya berkenalan Ballads of the Cliche, album band Indie pertama yang saya beli, hanya berdasar review manis sebuah majalah, berangkat dari deskripsi, saya lanjutkan dengan broswing sana-sini tentang karya mereka, sampai akhirnya memang lagu-lagu mereka mengambil hati saya. Cerita motif macam ini berulang berkali-kali, lagi dan lagi. White Shoes and the Couples Company, Adhitia Sofyan, Leonardo Ringo, The Trees and The Wild, Mocca, The Morning After, Angsa dan Serigala, banyak musisi yang dicomot dari pertemuan kebetulan. Sejauh ini, saya belum pernah dikecewakan sama scene indiepop, meski kadang mencari CD nya ga semudah mencari CD dari artis besar yang di dukung label, tapi setiap mendengarkan musiknya saya selalu bisa jatuh cinta, dan rela mencari CD nya sampai kemana-mana.

Temuan yang paling ajaib dewasa ini
mungkin adalah internet. Bisa kalian bayangin sendiri, seberapa massive perubahan yang dibawa sama si Internet ini. Dulu sebelum era Internet apa fungsi komputer. Sharing data digantungin sama disket, bahkan untuk stalking aja susah. 2012, semuanya udah bener-bener kebalik. Australia, Amerika, semua jadi sejauh satu kali klik dari Skype, atau soundcloud dimana musisi masih hobi meng-upload karya-karyanya buat dibagikan secara gratis dan legal. Youtube yang meledakan SInta-Jojo, Internet men, merubah segalanya. Lebih Masif lagi perubahan yang dibawa Internet di dunia musik.

Berselancar di Internet membawa saya ke satu situs musik kereta. Indiepop itu aneh, scene yang jarang kedengeran tapi menawarkan sesuatu yang segar dan menarik. Seenggaknya itu juga yang dibawa oleh musik kereta ke telinga saya.

Musik kereta tentu bukan musik dari bel lokomotif, atau suara decit roda besi yang bergesekan dengan rel, musik ini menurut saya adalah sebuah imaji dari perasaan menunggang kereta api. Musik yang digubah bener-bener penuh perasaan. Masih seperti selera musik saya sebelumnya, musik kereta api cenderung halus dan mengalun, tapi sungguh berbeda, biarpun miskin lirik tapi kaya makna. Inilah yang ditawarkan dari musik kereta api, sesuatu yang membuat saya jatuh cinta.

Mungkin mereka nggak pakai denim, tapi musik alim yang dimainkan memikat
jelas yang kalian hadapi bukan sebuah grup indiepop yang sederhana, ini adalah sekumpulan pemain instrumen, yang lazim disebut orkes, yang memainkan musik gardika gigih. Sungguh, ini musik yang kaya, dan menyenangkan untuk dinikmati.

24-25 November ini, Gardika Gigih akan mementaskan karyanya di Taman Budaya Yogyakarta, sebuah kesempatan langka buat menyaksikan konser, dengan musik yang manis, dan harga tiket yang ekonomis, 30 ribu rupiah.

musik musik ini membawa saya dalam nostagia memori kereta api pertama saya, dimana saya langsung jatuh cinta, dan masih suka sampai sekarang...


coba log on ke:

http://gardikagigih.com/

buat info lebih lanjut mengenai pertunjukannya. 

jesjestuuut....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar