Selasa, 06 November 2012

kereta api

decitan roda-roda, suara besi yang bertumbukan, bel, dan mesin diesel yang kepayahan, ah semuanya memang sendu

Sedikit orang yang tahu kalau saya termasuk orang yang gila tentang kereta api. Saya menghabiskan masa tumbuh kembang saya di sore api dekat dengan benda ini, sejak saya pindah rumah di bilangan Maliobor, yang notabene dekat dengan pusat kota, saya punya ketertarikan tersendiri sama benda ini, sehingga hampir tiap sore saya tidak pernah absen untuk melihat kereta api di Stasiun Tugu. Karena dalam pikiran anak ekcil saya, kereta api memang terlalu keren, sangat keren

Setiap dua minggu, kala kakak perempuan saya akan kembali ke Jakarta, saya selalu mengantar dia ke stasiun, dan menyempatkan masuk ke lokomotif, sekedar melihat lampu-lampu display bersama jarum-jarum panel yang menyala di suatu petang, rasanya sangat wow..... 

Beranjak dewasa, maka intensitas saya bertemu dengan benda ini otomatis berkurang. Saya lebih sering bertemu dia di tengah perlintasan, dimana sang kereta melaju angkuh, memberhentikan semua kendaraan, lalu hanya melintas sekejap, membawa angin besar yang kadang memedihkan mata, serta deru kencang dari mesin diesel buatan general electric. Kereta yang berbeda dengan yang biasanya saya jumpai. Dia yang lembut datang ke stasiun untuk mempertemukan orang dengan orang lain.

Kereta api,
Saya pikir adiksi saya padanya adalah suatu hal yang gila. Tapi ternyata banyak yang punya perasaan sama dengan saya, buktinya di gramedia mudah ditemukan majalah tentang kereta api. Menurt saya aneh, benda angkuh ini dibuatkan majalah khusus, kereta api bukan sepakbola, tapi yaa, memang dia benda yang terlalu memikat, saya setuju. 

Perjalan berkereta saya sebenarnya tidak tergolong dalam grup yang rutin menggunakannya sebagai moda transportasi, saya bukan pengelaju, dan saya juga lebih banyak berpergian dengan pesawat terbang alih-alih kereta api. Namun jelas, baik pesawat ataupun kereta api, saya memiliki rasa cinta yang berbeda, tapi sama-sama besar buat dua benda ini. Kereta api spesial, meski makan waktu panjang dalam perjalanan, tapi momen kala kereta-kereta berhenti di stasiun yang kecil, sepi, dan kuno, menurut saya adalah titik paling nyeni dari berkereta.

Sayang saya tidak merokok, tapi saya bisa membayangkan, kayaknya sangat epic, ketika sebuah kereta berhenti di tasikmalaya dini hari, lalu anda bisa membuka pintu sambil menghirup udara dingin, serta menyulut sebatang rokok. Atau merasakan panorama bumi pasundan yang menakjubkan, termasuk jembatan-jembatan belanda, makan sepiring bistik sapi, yaaaa banyak aktivitas yang bisa dilakukan selama berkereta.

Satu saat saya pernah sangat rindu sama yang namanya kereta. Sehingga saya mengambil perjalanan kereta ke kota lain dalam satu hari, bolak balik, hanya untuk menikmati sensasi naik kereta itu sendiri, atau lebih tepatnya mengulang kembali sensasi naik kereta itu sendiri, sebuah sensasi yang sebelumnya saya lupakan karena memang amsa vakum saya yang lama dari menumpang kereta.

Belum lama saya berjumpa kembali dengan seorang kawan yang pulang dari eropa. Menarik karena dia banyak bercerita tentang kereta, padahal dia bukanlah fans dari kereta sebelumnya. Tapi memang unuik, ketika berkereta semua orang bisa langsung jatuh cinta padanya. Bagaimana dia melukiskan pemandangan dari kereta yang melintasi Perancis dan Belgia dengan sangat padat, saya rasa itu jelas menyenangkan...


Kereta api, barang kali kalian masih bingung kenapa saya tergila-gila dengan benda yang satu ini, tapi raungannya, decitan roda, suara bel, sejarah, dan memori yang ada di dalamnya, membuat naik kereta tidak pernah membosankan bagi saya.

Selasa malam di LIR Shop

"jatuh cinta pada pandangan pertama"

kemarin saya menulis soal indiepop, gardika gigih dan musik kereta yang lovely itu. hari ini saya secara kebetulan mengulas sesuatu yang masih satu "keluarga" dengan indiepop. balik ke indiepop dulu, sebenarnya menurut pandangan saya, indiepop ini sendiri sebuah simbol dari progresifitas anak muda, indiepop juga ga melulu mengenai musik, bisa elevasi ke tempat-tempat yang lebih dalam. Yang termasuk kejam dari indiepop adalah budaya, kejam dalam artian berkembang dan melekat di keseharian pemuda-pemudi.

Saya sebenernya buta soal pergaulan anak muda jaman dulu, apa iya mereka suka nongkrong di tempat-tempat makan gitu, kayak yang hari ini banyak kita jumpai. Betapa crowded nya tempat-tempat makan seperti Dunkin Donuts di Jalan Kaliurang, Kalimilk, atau tempat makan yangmenurut saya indiepop banget. Ciri-ciri dari tempat makan yang rame begini biasanya punya spesifiksitas terntentu sama sajiannya, dan juga punya ciri khas yang membedakan dia sama tempat sejenis. Selain kedai susu yang menjamur di kota saya, ada juga model rumah baca. dimana kalian bisa datang, pesan makanan, dan baca buku sesuka hati.


pameran seni seorang teman

yang berkuliah di institut seni di Yogyakarta membawa saya pada tempat baru ini, namanya LIR Shop. Sekilas saya tidak mengetahui betul tempat model apakah ini, karena jujur, di antara teman-teman saya, dan saya sendiri, nama ini sangat asing, bahkan mendengar namanya baru satu kali, bagaimana bisa mengetahui lebih dalam tentang bentuk atau sajian. karena seorang teman saya ini menghelat pameran seni visual disana, maka terpaksalah saya mencari-cari dimanakah letak LIR Shop ini.

Ternyata, setelah broswing via google maps, LIR Shop ada di bilangan Baciro, sangat dekat dengan Stadion Mandala Krida. Tepatnya LIR Shop ini ada di Jalan Anggrek, Baciro Yogyakarta, sekitar 5 menit dari pusat kota. Untuk mencari tempat ini, karena saya agak tolol butuh waktu hampir setengah jam. Percayalah saat anda menemukan tempat ini, yang anda dapati cuma kesan sepi dan tenang, karena tempat makan ini memang berada jauh dari hingar bingar keramaian anak muda seperti jalan cendrawasih, atau jalan mataram. Terletak di tengah perumahan lama, LIR Shop punya ambience nya sendiri. Ambience yang tenang, damai, tapi menarik.

Di LIR Shop ada jajaran buku-buku yang bisa dibaca dengan cuma-cuma, ada juga slot-slot ruangan semi outdoor yang dipadu dengan lighting yang cantik, belum lagi masih ada makanan dengan menu yang kayak story book, lucu banget sebenernya, dan yang paling penting dari itu semua harganya bersahabat banget.

Ya, tempat makan sederhana itu menurut saya buah dari kebudayaan indiepop yang populer di kalangan anak muda hari ini, satu tempat yang cantik dan menarik, saya malam ini saya nggak jadi kebagian jatah makan di LIR, karena saya datang terlalu malam. LIR Shop buka pukul 8 Pagi sampai 8 malam, berbeda dengan kebanyakan tempat yang tutup pukul 9, LIR agaknya anti mainstream.

Kalau kalian berencana kesana dalam waktu dekat, jangan lupa saksikan expo teman saya wulang disana ya, yang akan ada di LIR SHop mulai dari 4 november kemarin, sampai 18 november nanti.

well, saya menunggu kunjungan saya selanjutnya kesana.


annual post; November

halo semua,

diantara belasan orang yang datang berkunjung ke blog sederhana ini, mungkin ada yang niteni perubahan layout yang saya lakukan.

Ya semuanya memang saya beri sentuhan baru, supaya lebih klimis dan kelihatan nyeni, karena sebelumnya kalian tahu sendiri kalau tampilan blog saya super simple.


Masuk bulan yang baru, saya memulai sesuatu yang baru, ada perubahan di layout, ada juga perubahan di nama blog saya. Karena seorang teman menganggap nama blog saya sebelumnya terlalu mendes, dan jadilah blog baru ini dengan nama twiraadi.

Bulan november ini saya juga berusaha untuk lebih rajin mewartakan beberaoa foto, sebagai oase di padang gurung, penyegar diantara minimnya tulisan.

enjoy folks!

regrads, theo.

Senin, 05 November 2012

gardikagigih

"pemain pianika, dan komponis musik dari yogyakarta"

Scene musik indiepop mungkin bukan makanan baru buat saya, makanan, bukan mainan. Karena saya cuma mengkonsumsinya, tanpa pernah terlibat sedikitpun dalam proses di dalamnya. Indiepop ini juga sejujurnya jadi passion saya dalam mendengarkan musik, karena lewat indiepop, saya bisa menyimak band-band yang nggak headline, tapi karya musiknya sangat manis. Dalam perpspektif yang berbeda, beberapa orang bilang selera musik saya aneh, meski tidak sedikit yang setelah "mencicipi" selera musik saya, malah jadi ikut-ikutan suka.

Semuanya berawal dari
sebuah perintah sederhana ayah saya, yang meminta saya untuk memberi perhatian lebih dalam setiap hal yang saya kerjakan. Semacam doktrin dari masa balita, sampai sebesar ini masih terus tertanam. Kadang hal ini membawa saya berkenalan dengan barang-barang langka(baca: musik indiepop). Saya berkenalan Ballads of the Cliche, album band Indie pertama yang saya beli, hanya berdasar review manis sebuah majalah, berangkat dari deskripsi, saya lanjutkan dengan broswing sana-sini tentang karya mereka, sampai akhirnya memang lagu-lagu mereka mengambil hati saya. Cerita motif macam ini berulang berkali-kali, lagi dan lagi. White Shoes and the Couples Company, Adhitia Sofyan, Leonardo Ringo, The Trees and The Wild, Mocca, The Morning After, Angsa dan Serigala, banyak musisi yang dicomot dari pertemuan kebetulan. Sejauh ini, saya belum pernah dikecewakan sama scene indiepop, meski kadang mencari CD nya ga semudah mencari CD dari artis besar yang di dukung label, tapi setiap mendengarkan musiknya saya selalu bisa jatuh cinta, dan rela mencari CD nya sampai kemana-mana.

Temuan yang paling ajaib dewasa ini
mungkin adalah internet. Bisa kalian bayangin sendiri, seberapa massive perubahan yang dibawa sama si Internet ini. Dulu sebelum era Internet apa fungsi komputer. Sharing data digantungin sama disket, bahkan untuk stalking aja susah. 2012, semuanya udah bener-bener kebalik. Australia, Amerika, semua jadi sejauh satu kali klik dari Skype, atau soundcloud dimana musisi masih hobi meng-upload karya-karyanya buat dibagikan secara gratis dan legal. Youtube yang meledakan SInta-Jojo, Internet men, merubah segalanya. Lebih Masif lagi perubahan yang dibawa Internet di dunia musik.

Berselancar di Internet membawa saya ke satu situs musik kereta. Indiepop itu aneh, scene yang jarang kedengeran tapi menawarkan sesuatu yang segar dan menarik. Seenggaknya itu juga yang dibawa oleh musik kereta ke telinga saya.

Musik kereta tentu bukan musik dari bel lokomotif, atau suara decit roda besi yang bergesekan dengan rel, musik ini menurut saya adalah sebuah imaji dari perasaan menunggang kereta api. Musik yang digubah bener-bener penuh perasaan. Masih seperti selera musik saya sebelumnya, musik kereta api cenderung halus dan mengalun, tapi sungguh berbeda, biarpun miskin lirik tapi kaya makna. Inilah yang ditawarkan dari musik kereta api, sesuatu yang membuat saya jatuh cinta.

Mungkin mereka nggak pakai denim, tapi musik alim yang dimainkan memikat
jelas yang kalian hadapi bukan sebuah grup indiepop yang sederhana, ini adalah sekumpulan pemain instrumen, yang lazim disebut orkes, yang memainkan musik gardika gigih. Sungguh, ini musik yang kaya, dan menyenangkan untuk dinikmati.

24-25 November ini, Gardika Gigih akan mementaskan karyanya di Taman Budaya Yogyakarta, sebuah kesempatan langka buat menyaksikan konser, dengan musik yang manis, dan harga tiket yang ekonomis, 30 ribu rupiah.

musik musik ini membawa saya dalam nostagia memori kereta api pertama saya, dimana saya langsung jatuh cinta, dan masih suka sampai sekarang...


coba log on ke:

http://gardikagigih.com/

buat info lebih lanjut mengenai pertunjukannya. 

jesjestuuut....