Jumat, 06 Maret 2015

Cobu-Boys di Amesfoorth

Panggil saya penggila budaya barat, atau sebut saya terlalu berorientasi terhadap hal-hal berbau asing. Tapi sungguh, saya menyukai hal-hal berbau non-domestik karena dalam beberapa aspek, mereka di luar sana melakukannya lebih baik daripada kita disini.

Ceritanya waktu saya mampir ke sebuah kota bernama Amesfoorth di Nederland. Di Kota ini sepupu saya, Andre bersekolah dan tinggal. Layaknya remaja seusianya, kehidupan sehari-hari Andre nggak jauh dari hal-hal berbau pendidikan. Belajar rutin, dan mengerjakan tugas, serta olahraga. Ya, kebanyakan dari kita yang ada di awal usia remaja memang begitu cinta sama olahraga. Serius atau tidak, tapi banyak yang tergila-gila, dan nggak sedikit yang berpikir buat cari makan di masa depan dari lapangan.

Nederland itu negara yang kecil, tidak lebih besar dari Pulau Jawa, namun mereka bisa punya tim bola yang sampai ke Final Piala Dunia tahun 2010. Mereka kontinyu melahrikan bibit-bibit cakap dalam olahraga ini, apa rahasianya? Ya, apa rahasianya? Itulah pertanyaan yang membayangi saya selama berkunjung disana.

Amesfoorth adalah sebuah distrik kecil di Belanda, ketika saya sampai disana, cuma ada tiga tempat yang saya kunjungi. Toko Peralatan Rumah Tangga IKEA, Rumah Sepupu saya, dan Sports Compound milik klub bola Andre, Cobu Boys. Kunjungan ke IKEA sudah saya rencanakan jauh-jauh hari, salah cabang terbesar mereka ada di Amesfoorth, dan saya sungguh gila soal IKEA, karena mereka melakukannya dengan sangat out of the box. Jadi kunjungan ke Toko mereka jelas merupakan ziarah wajib yang akan saya lakukan. Tapi mampir ke Cobu Boys? Sebenarnya saya cuma penasaran, mencari jawaban tentang kenapa mereka (Nederland) begitu bagus di kancah Dunia. 
---
Luasnya hampir 3 kali GOR UNY, tentu saja lebih sederhana, namun amat sangat layak. Pelajaran pertama yang saya dapat, tentang pentingnya menyiapkan fasilitas yang layak alih-alih mewah. Ada 2 lapangan sepak bola, dan beberapa lapangan olahraga lain. Tak ada tribun, namun ada satu bangunan yang berisi ruang ganti mereka, cafetaria, dan sekertariat klub. Saya yakin sekertariat Persija Jakarta saja nggak akan serapi sekertariat mereka. Gila, padahal cuma SSB, tapi mereka punya struktur yang sangat yahud. 

Tak berhenti disitu, kekaguman saya berlanjut waktu saya berbicara dengan orang-orang disekitar saya sembari menonton Andre berlatih. Mengetahui bagaimana mereka menjalankan klub ini, dengan sistem keuangan yang sederhana dan dukungan yang baik dari otoritas setempat. Bagaimana tiap-tiap orang tua saling bergantian menyediakan makanan untuk memenuhi gizi para pemain dari dapur klub, mengelola perlengkapan, dan berlatih. Pikiran saya meledak-ledak. Ini cuma SSB lho, macam Gama atau Puspor di Jogja. Tapi kok segitu diurusinnya ya. Apalagi waktu lihat Andre berlatih, mereka nggak spesial-spesial amat. 11-12 dibanding skill anak-anak seusia mereka di Indonesia.

Tapi jelas, bukan soal skill mereka, atau siapa mereka. Tetap aja mereka di treat dengan layak. Bukan mewah. Saya nggak melihat mereka punya boot room yang dipenuhi sepatu seri tebaru macam pemain Liga Inggris, atau mereka punya bola klasifikasi A yang dipakai buat Eredevise. Nggak ada. Mereka cuma diperhatikan, tanpa di manjakan. Diperlakukan dengan layak, meski ga berlimpah kemewahan. Lagi, petir-petir itu saling bersambar dikepala saya. "Ini cuma SSB kok segininya diurusiii ya?"
--
Sesi latihan Andre hampir berakhir, senja menjelang di langit bagian barat, saya beranjak pulang dan meninggalkan Cobu Boys sore itu. Sejalan dengan kayuhan sepeda Andre menuju rumah, pikiran saya masih hangat setelah melihat seperti apa anak-anak muda di negara finalis ini diperlakukan. Sepanjang jalan saya sadar kalau lapangan indah macam Cobu ini tersebar dipelosok negeri kecil ini. 

Benar kata orangtua, semua dimulai dari bawah, dari yang muda. Nederland pun melakukan hal serupa. Memperlakukan yang paling bawah dengan layak, dan sepantasmya. Satu pelajaran dari Amesfoorth yang tinggal dan lekat dalam hati saya.

Theodore Wira Adi
*ditulis sebagai bagian dari jurnal kecil dari saya dan ian*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar