Sabtu, 06 Desember 2014

Retorika

Presentasi berbeda dengan promosi. 

Retorika.

Kamis, 29 Mei 2014

Yang paling berkesan selama perjalanan

Bukannya sombong, ini review kecil saya tentang apa yang sudah saya lewati selama 22 tahun hidup.


Saya bukan travel blogger, tapi saya suka dengan perjalanan, by far saya sudah menjelajah cukup banyak tempat. Suatu pengamlaman special yang nggak keganti. Menjajal banyak scenario dan situasi, serta bertemu banyak orang dalam perjalanan. Waktu saya suruh memilih mana yang paling berkesan buat saya, tentu itu bukan jawaban yang mudah.


Perjalanan saya ke Malaysia selalu menyenangkan, karena selalu ditemani oleh teman-teman baik saya yang sangat mengerti, dan menikmati setiap kepingan perjalanan yang kami lakukan. Singapura tentu keren juga, modernitas yang ditawarkan merupakan sesuatu yang sangat menyenangkan untuk saya nikmati, kita tau lah Indonesia sejauh apa (dalam hal perkembangan) kalau di takar denganh seingapura. Perjalanan, ajaib ya, gimana sepasang boarding pas, dan beberapa jam di udara bias merubah apa yang biasa kita lihat, kita rasa, kita makan, semuanya berbeda, asing namun menyenangkan. Lagi, kalau suruh mengulang yang mana yang akan saya ulangi? Yang mana yang paling berkesan.


Boleh ya saya menceritakan sedikit tentang perjalanan saya kemarin ke Eropa, karena saya nggak se nyampah itu lagi dalam perjalanan ini. Nggak pernah menulis serutin dulu, kayak minum obat. Eropa, dingin, asing, dan kering. Tiga kata itu yang paling bias mewakili apa yang saya rasakan selama disana dalam masa-masa awal mampir di sana. Aneh karena ini bukan perjalanan wisata, jadi ada hectic yang cukup tinggi di kepala saya, dan teman-teman saya. Menyenangkan sekali bias melihat bagian dunia yang baru, mendapat pengalaman baru, bersama grup baru. SIngkatnya eropa baru! Hahaha.


Perjalanan eropa kemarin mungkin saya bagi dalam dua bagian besar. Bagian tengah dan timur bersama teman-teman dari universitas untuk berlomba, dan sisa masa tinggal saya dihabiskan di rumah saudara saya. Menjalin silaturahmi. Dalam bagian pertama buat saya sangat hectic, dan melelahkan, baik secara mental dan fisik. Tapi seru! Nggak kebeli. Mewakili Indonesia, bertemu banyak orang baru disana, makan malam di banyak tempat berbeda, bertahan hidup dengan kebab, menggila lah singkatnya, dan menyenangkan tentunya. Bisa merasakan mulut yang berasap tanpa merokok, atau pergi tanpa bawa celana pendek tentu sebuah pengalaman baru yang lain lagi.


Tapi masih ya, bingung kalau saya suruh memilih, mana yang paling berkesan, dan mana yang ingin saya ulangi.


Satu yang tak bias lepas dari trip eropa kemarin adalah bantuan yang dahsyat dari teman-teman yang saya temui sepanjang jalan. Saya dibantu banyak oleh teman-teman KBRI di Negara masing-masing yang sangat baik menerima saya dan teman-teman, Dimas teman saya dari Kolese Kanisius, Keluarga saya di Belanda, atau Keluarga teman di Jerman. Saya sebenernya agak kurang familiar dengan model perjalanan macam itu, perjalanan mengandalkan bantuan. tapi ya saya nyadar banget kalau kita berdiri di satu tempat dimana kita nggak bias ngomong, atau gak bias baca tulisannya, wawktu kita ga paham budaya setempat, orang-orang local yan masih mau senyum dan berkomunikasi dengan kita adalah kado paling luar biasa yang bias saya dapat. Untungnya saya beruntung memiliki itu semua sepanjang perjalanan ini.


Eropa secara singkat meninggalkan kesan mendalam mengenai bantuan dari handai taulan yang luar biasa, Om Dody di KBRI WIna, hingga Mbak Saura di Utrecht. lagi, mana yang paling berkesan?


Satu artikel yang saya baca ketika dalam perjalanan menuju Jakarta adalah kutipan singkat dari CEO Air Asia Thailand, bahwa setiap destinasi unya kesannya sendiri. Gila ya. tapi bener deh. Seperti saya jatuh cinta dengan modernitas singapur, dan kenangan bersama teman di Malaysia, dan ya. Eropa, dengan segala pengalaman mendapat bantuan itu menjadikannya sanfgat berharga sekali.



Sabtu, 26 April 2014

Batch 2

Waktu saya menulis ini, saya sedang ada di Belanda, Bunnik, dekat Utrecth.

Duduk dengan santai sambil menanti jam menunjukan pukul 4, waktu dimana saya harus menumpang kereta menuju ke Frankfurt, Jerman dalam rangkaian erjalanan panjang saya menuju rumah. 3 Hari di jalan. Impressive. Beberapa menit yang lalu, selayaknya orang yang berusaha membunuh waktu dan mengusir bosan, saya bermain beberapa akun media sosial yang saya miliki, Instagram, dan Twitter. Saat berselnacar di linimasa saya sedikit terpancing oleh sebuah kicauan dari akun resmi milik sekolah saya, akun satelit dari sekolah saya dulu lebih tepatnya. Memberikan teaser sebuah acara di tengah bulan Juni mendatang yang akan mereka selenggarakan.

Mencoba kepo adalah hal selanjutnya yang saya lakukan, mencari tau tentang apa acara ini. Waktu saya selesai, saya diam dan sangat emosional. Oke, soal kata terakhir banyak yang mengidentikan emosional dekat sama marah-marah, tapi saya sama sekali ga seperti itu, nggak marah-marah. Saya emosional melihat apa yang mereka lakukan sampai sejauh ini.

Ingatan saya meluncur ke bulan februari atau April 2 tahun yang lalu, waktu saya dan teman-teman bersepakat untuk "memberikan sesuatu" adik-adik kelas kami. Terlalu mulia waktu saya tulis kami ingin memberikan hal yang spektakuler dan menyenangkan, sebenarnya hari itu kami cuma ingin memberi satu kenang-kenangan kecil, satu ajang belajar buat saya, dia, dan mereka yang bersekolah di Kolese De Britto, tentang semua nilai-nilai yang coba di ajarkan selama kami bersekolah disana.

Nama acaranya MSF, Mittsummerfest. Ini bukan bahasa yang betul. Karena dalam bahasa Jerman summer harusnya Sommer. Kalau dalam bahaasa Inggris harusnya Mid, bukan Mit. Tapi ya gimana, kadang nama haruk kita rubah biar keren, jadilah gado-gado inggris-jerman bernama Mittsommerfest. Kata Shakesphere, apalah Arti sebuah nama? Apalah arti salah bahasa dikit, buat saya.

MSF sebenernya bermakna sebuah perayaan, satu hari dimana orang-orang disini (Eropa) merayakan bersinarnya matahari yang lebih panjang dalam satu hari. Simbolisasi atas kemenangan hal baik di atas kejahatan. Di MSF #2 tahun ini, saya terkejut waktu tahu adik-adik angkatan masih mengadopsi nilai yang sama, nama yang sama, dan periode waktu yang sama!

Buat saya, dan beberapa teman-teman yang terlibat membidani MSF #1, jelas festival musim panas dan hal-hal lainnya itu adalah suplemen yang kami dapatkan dari Internet, dan buku-buku yang kami baca. Tak ada satupun dari kami yang pernah menginjakkan kaki di Eropa sebelumya, apalagi tiggal disana, dan merasakan MSF yang asli di benua biru itu. Sebagai orang Asia yang jauh dari 4 musim, kami sulit membayangkan seperti apa gambaran nyata tentang apa yang mereka rayakan, apa yang mereka maknai. Kami berusaha menangkap semangat perayaan itu dengan susah payah, dan ya, kami rasa kami tidak buruk melakukan hal tersebut, tapi masih jauh dari sempurna.

Hari kemarin saya berjalan ditengah kota Utrecht, ditengah kerumunan rakyat Belanda yang berpakaian serba Orange (warna nasional mereka). Mereka turun ke jalan dan merayakan Ulang Tahun Rajanya dengan begitu meriah, dalam sebuah festival yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Peristiwa Ulang Tahun ini dirayakan di seantero Belanda, dirayakan bersama-sama dan ya, festival a'la eropa, dan saya ada di tengahnya. Festival yang sebeumnya coba di pahami oleh saya dan teman-teman waktu itu, ya, kami nggak jelek-jelek amat melakukannya.

MSF, MSF, MSF, ah, saya masih suka dengan semangat yang ada di dalamnya. Tentang membawa relaksasi di tengah kepenatan, tentang waktu kerja yang nggak lazim buat anak sekolah (Juni), tentang menjadi pionir dalam membawa sesuatu ke kota Jogja, tentang mengeksplorasi lingkungan kampus yang luar biasa hebat itu, tentang bekerja dalam persaudaraan yang cerdas, ya, semuanya di De Britto. Semuanya terlalu manis buat dilewatkan begitu saja.

Hari ini waktu saya membaca teaser mengenai event dengan batch nomor 2, saya cuma bisa angkat topi, sambil mendoakan semua yang terbaik buat mereka yang berdiri di belakang semuanya ini. Jelas semua yang saya katakan sebelumnya bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Bekerja di masa-masa bulan Juni itu Pathetic, tapi nggak ada pengorbanan yang sia-sia, saya menghargai betul keberanian mereka yang masih emmpertahankan timeline waktu acara ini di bulan Juni. Gila, tapi kamu hebat.

Jelas saya harapkan kalu batch 2 ini bisa lebih baik dari yang sudah ada sebelumnya, dalam segal aspek. Saya akan berdoa untuk hal ini, dan satu hal lagi yang membuat saya sangat salut dengan mereka yang menghelat batch 2 ini. Keberanian, atau inisiatif untuk mempertahankan konsep yang sudah pernah diusung jadi poin tersendiri kenapa saya sangat menghargai hal ini. Jelas, kata orang membuat baru, itu jauh lebih gampang dalam kebanyakan hal. namun mempertahankan itu jauh lebih susah. By far mereka mempertahankannya dengan baik, atau lebih baik!

semua yang terbaik buat kalian yang ada di belakang ini, salam dari Bunnik!

Rabu, 05 Februari 2014

metro mini

hampir seminggu ini berada di Jakarta, kota yang, ah, kalau kalian bisa berbahasa Indonesia, kalian tahu lah, Jakarta itu kayak apa. Sekecut apa jalan-jalan Jakarta. Judul cerita saya kali ini juga bukan kata yang akrab dengan keselamatan di jalan, kenyamanan perjalanan, pelayanan prima, dan transportasi modern. Semua lawan kata dari yang saya sebutkan sebelumnya ada dalam Metro Mini.

Saya nggak punya deskripsi yang jelas, apa itu Metro Mini. Karena Metro Mini alias MM ini wujudnya bermacam-macam buat saya. Yang saya tahu bis sedang tanpa AC, dan agak reyot, pasti dinamai Metro Mini, ga masalah mereka dari Koperasi apa, atau menggunakan nama bis apa gitu. Semuanya saja Metro Mini. Saya akrab dengan benda ini belakangan karena letak tempat yang saya tuju setiap hari hanya bisa dicapai dengan MM. Maka mau tak mau saya menjadi pengguna tetap angkutan ajaib ini.

Hampir seminggu saya menumpang metro mini, saya menemukan beberapa fakta yang unik, dan menarik tentang perjalanan menggunakan bis ajaib ini. Saya kira ini merupakan angkutan yang sama saja dengan bis semacam ini di Kota asal saya, Jogjakarta. Tapi ternyata saya salah besar. Metro mini buat saya sih simbol penghidupan masyarakat urban Jakarta kelas bawah, khususnya laki-laki. Karena di Metro Mini, kehidupan mereka berjalan.

Dalam metro mini, biasanya pengemudinya mas-mas yang belum sampai 30 tahun. Tren ini sih kayaknya baru menjamur belakangan, bukan tren yang sudah ada dari jaman dulu kala, barusan saja ini adanya. Mas-mas metro mini ini biasanya modis. Tentu bukan berarti mereka pakai cardigan zara atau jeans Levi's. You know, modis, bling-bling di sabuknya, atau celana jeans hipster, kadang-kadang juga mereka pakai kaos potongan junkies gitu. Ganteng lah pokoknya. Terus mereka perokok, rokoknya pun nggak murahan, minimal sampoerna. Tapi koreknya biasanya merk kanguru, seharga 100 perak, korek kayu.

Mereka buat saya pria-pria yang bernyali besar. Karena dengan kendaraan yang ala kadarnya begitu, mereka berani menerapkan aggresive driving style, macam Sebastian Vettel memburu Fernando Alonso di lintasan balap. Hapir ga ada jarak antara metro mini dengan mobil di depannya. Mereka juga mepet-mepetnya dalam kecepatan tinggi. Sungguh cerminan pria pemberani.

Dalam metro mini, buat saya ada momen seperti duduk dalam kotak kematian. Momen itu ada kalau kita dapat duduk di barisan depan. Man, kalau kamu bisa berkendara, kamu cuma deg-deg an sepanjang jalan. Mereka itu nggak masuk akal, ngebut, potong kanan, potong kiri, semau gue. Kadang saya berpikir, atau malah yakin pasti akan tertabrak kendaraan lain, tapi ajaibnya selama seminggu ini saya belum lihat metro mini nabrak. Dahsyat.

Selain itu, mereka juga sangat nggak paham aturan lalu lintas. Jelas saya nggak menyalahkan siapapun, tapi buat saya lucu saja, ucu setengah mati waktu saya lihat seorang pengemudi MM marah-marah kepada mobil di depannya, yang tidak melanggar lampu merah. Marah, karena tidak melanggar. Sungguh sebenarnya nggak perlu ahli transportasi untuk mengurai macet di Jakarta mungkin.....

Oh iya, ada satu hal yang lucu, tapi saya nggak suka. Semua awak Metro Mini itu mostly PHP. Pernah satu ketika saya menanyakan apakah mereka akan melintasi tujuan X, karena saya hendak ke X. Mereka bilang ya. Tapi faktanya tidak...... Maka saya harus cepet-cepet turun sambil merasa terkecu.

"Bang nggak lewat tol kan?"
"Nggak, lewat bawah"
-setelah lima menit belok ke pintu tol-

Mereka juga sering menggunakan kalimat klise yang nggak jelas.
"Yok, Fatmawati, langsung berangkat-langsung berangkat"
-lalu mereka bilang gitu sampai ada lima orang naik bus, baru berangkat-
Langsung berangkat bathuk mu -_-

Saya sungguh nggak suka bagian tanya tujuan dan dijawab iya, kayaknya ada semacam reflek gitu diantara awak metromini buat bilang iya ke semua pertanyaan.

"Bang berhenti di talavera gak?"
Iya
"Bang turun di jembatan ya?"
Iya
"Bang nggak lewat tol kan?"
iya
"Bang ini jurusan ke London kan?"
Iya


semua saja iya.

Biar asem, panas, dan kecu, metro mini mau ga mau juga masih dibutuhin sih, saya bisa membayangkan kalau nggak ada metro mini diseluruh jakarta, ada berapa manusia yang harus kebingungan. Percayalah, ini bukan transport terbaik di dunia, tapi kalau mau coba sesuatu yang baru, ini angkutan yang..... Seru.