Rabu, 03 Oktober 2012

Masih Bisa Kuliah

"setiap sore senyum nya menyapa, dan alunan ringan tangannya mengingatkan bahwa saya masih beruntung dengan semua yang saya punya"

MAHASISWA
Waktu sudah berganti, sekarang saya mengendarai motor kuning saya tidak tiap jam 7 pagi. Bisa jam 11, bisa jam 9. Saya juga nggak jalan lagi ke kawasan demangan, tapi bulaksumur. Singkatnya hidup sudah berubah dengan hidup kemarin, saya sudah kuliah.

Jadi mahasiswa, kata seorang praktisi di kampus saya, berarti mengembang tanggung jawab pada rakyat, karena kursi-kursi yang kami duduki sedikit banyak juga di galang dari pajak rakyat, yang dipakai buat mensubsidi biaya pendidikan yang katanya tinggi di Indonesia sini.

Jujur saja, saya, dan anda yang aktif di dunia pendidikan pasti tidak merasakan hal tersebut. Merasa bahwa dibawah kursi-kursi ini ada uang rakyat yang dihimpun buat bayar tuition fee kita tiap tahun. Saya merasa begitu jujur saja, feel bahwa di bayarin rakyat itu kurang berasa.

Feeling un-responsible masih jelas kental di dalam saya. Kuliah itu hak, sesuatu yang memang sudah layak dan sepantasnya saya terima, sesuatu yang harusnya memang sudah melekat di dalam diri saya

Kartu Ijin Kendaraan
Merupakan benda langka yang nggak saya miliki, sebuah kartu sakti yang bisa melegalkan saya membawa si kuning masiuk ke dalam area kampus. Karena kealpaan kartu ijin kendaraan atau yang akrab disapa KIK ini, maka tiap kuliah saya harus memarkir kendaraan saya di kantong parkir, dimana tak ada pungutan, hanya cukup membawa STNK supaya saya sah parkir disana.

KIK ini merupakan perbincangan yang hangat di orang-orang sekitar saya, pro-kontra tentangnya gak berhenti bermunculan, dan yang paling menyenangkan adalah menajdi pendengar dari semuanya itu. KIK komersialisasi, atau akal-akalan elite, hehehe, saya nggak tau, belum tau, yang saya tau pasti semua hal ini membuat saya gak bisa parkir di dalam.

Kuliah Sore
Ya,kebanyakan sesi kuliah saya berakhir sekitar pukul 3, di satu hari, bisa selesai pukul 5 sore. Slot waktu yang menyenangkan untuk menempuh jalan pulang, waktu jalan tidak terlalu crowded oleh banyaknya kendaraan bermotor di Jogja, dan matahari sudah mulai tidak terik. Kadang waktu pulang juga diiringi embusan angin sejuk yang menyegarkan.

Ketika saya mau keluar dari kantung parkir kampus, ada sesosok pemuda yang setiap sore setia berjaga disana, mungkin usianya cuma 2 tahun lebih tua dari saya, atau mungkin sama. Petugas ini yang berkewajiban memeriksa ke absahan STNK tiap kendaraan sebelum meninggalkan kantung parkir. Entah kenapa di satu sore yang sepi dia membiarkan saya lewat tanpa menunjukan stnk.

mungkin dia malas


hari selanjutnya pun begitu,
lewat saja...

terus terus terus dan terus

saya mendapat previllage dari si mas ini, saya nggak tahu namanya, saya nggak tahu aapun tentang dia.

cuma melihat dia yang berjaga tiap sore, dan membandingkan saya yang keluar dari ruang kuliah di sore yang sama, saya tahu kenapa saya harus kuliah dengan benar, serius, dan penuh tanggung jawab

karena apa yang saya punya hari ini, apapun itu, masih lebih baik dari dia yang terpaku di bangku kayu kantong parkir lembah ugm.

senyum hangatnya seolah pesan singkat, bahwa saya yang lebih beruntung, harus memaksimalkan apa yang saya punya



ya, kuliah yang betul nak.

1 komentar:

  1. Your story makes me remember about my home, i live around UGM more than 17 years until i went to another place to create my good future to make my family life in better condition, good story!, i like it

    BalasHapus