Malang, Indonesia
25 Januari 2011, Dini Hari.
Saya bersama 27 teman lain menginjakkan kaki pertama kali di Kota Apel, atau Kota Bunga ini.
Banyak dari kita yang baru pertama kali dateng ke Malang, dan yah, Udara dingin Malang di dini hari cukup kuat menembus jaket parasit saya, dan jaket katun teman-teman. Rasa dingin sih ga seberapa, tapi yang paling kentara saat itu, rasa resah, campur bimbang, lalu ada juga ragu-ragu.
Mungkin kalian belum tahu. Di Sekolah saya ada suatu pekan pengolahan pribadi buat seluruh siswanya. Kelas 1 dengan Studi Ekskursi-nya(yang berarti memindahkan kursi). Kelas 2 melakukan live-in(semacam study tour hati), dan buat teman-teman kelas 3, ada Gladi Rohani, sebagai persiapan menghadapi akhir-akhir masa sma.
Live-in selama ini biasa aja buat kami. Sampai ada revolusi Live-in yang dibawa oleh Mas Dwiko(baca;Romo Dwiko). Manusia yang visonaris, dan idealis. Sehingga mulai tahun ini, diadakan live-in sosial. Live-in yang buat para murid penuh dengan rasa deg-degan, dan ketakutan. Takut karena tidak siap menghadapi kejutan yang akan di dapat, mungkin.
Saya dan 27 teman saya masuk ke legiun live-in khusus. Sebelum tanggal 24, kami tendensi kata khusus bagi kami, adalah kesengsaraan yang berlebih. Singkatnya, sesuatu yang negatif. Berangkat dari pemikiran super sempit seperti itu juga, kami nggak bisa tenang sepanjang dini hari itu. Menerka-nerka apa yang akan kami hadapi.
Orang Cacat Mental yang makan kotorannya sendiri kah?
Atau anak-anak hiperaktif yang harus dipasung?
Nenek-nenek Jompo kah?
semua kemungkinan ada di masing-masing kepala kami, dan saya rasa pagi itu kami semua berpikiran satu.
"Malam perjalanan adalah malam paling nikmat yang terakhir. Setelahnya hanya ada derita dan sengsara."
Saya benci menunggu, saya benci menunggu di pinggir jalan kota malang, saya benci terlunta-lunta menunggu kepastian selama 4 jam, dari matahari masih ndelik, sampe nongol. Rasanya sudah lelah di perjalanan, masih ditambah kelelahan saat menunggu. Tapi kami semua suka tak suka masih harus menghadapi itu. Selama masa menunggu itu juga, kami diperkenalkan dengan "sampel" anak-anak yang akan kami hadapi selama 4hari ke depan.
jam 8. setelah sambutan yang singkat dan formalitas lain. Saya mulai bergabung ke "rumah baru" saya.
Saya di titipkan di Yayasan Bakti Luhur, Yayasan yang di bangun oleh Rm. Jansen Cl. Mengampu panti asuhan(di Kediri), SMK Pelayanan Sosial(baru denger kan?), Banyak SLB, Rumah Sakit, Asrama Anak cacat, Perawatan anak terlantar, Sekolah Katekis, banyak sekali! Seorang Romo Belanda yang ga kalah ok dari Romo Van Lith melihat karyanya. 89tahun hidup, dan entah sudah berapa jiwa yang di tolongnya.
Secara lebih khusus, saya dan teman-teman saya di percayakan pada Asrama Penyandang Cacat Mental Putra. Ada 12-13 Asrama, masing-masing asrama di huni oleh 2-3 Siswa dari Kolese de Britto.
JANGAN BAYANGKAN INI ASRAMA SEPERTI ASRAMA SAMI!
Ini lebih mirip dengan supadi. Rumah sederhana, lengkjap dengan kamar-kamar. Nggak banyak, cuma 2-3 kamar aja. Maksimal ada 11 klien(penderita cacat mental) tiap rumah. Ada yang hanya dihuni 4, ada juga yang lebih. Ini namanya Asrama, tapi dalam pandangan saya, ini kayak kontrakan buat anak cacat. Karena bentuknya yang nggak mirip dengan asrama itu, saya merasa nyaman sekali tinggal disana.
Lanjuttannya?
Segera :)