Jumat, 25 November 2011

Reparasi-Hati

"Halo mertoyudan! Kembali lagi bersama kami, duo molek. Saya Mamo(suara 1), dan saya Alex (suara 2)"

itu sebuah sapaan wajib yang selalu kami lambungkan ke udara selama beberapa hari di mertoyudan, dalam Temu Kolese 2011. Acara yang menurut saya nggak terkonsep dengan rapi, dan menggunakan penyiar amairan, karena memang semuanya cuma di dasari sama rasa bosen karena nggak ada kerjaan.

Semuanya di mulai hari Minggu, sekitar tanggal 16 Oktober kalau nggak salah. Saya dan Alex, serta beberapa teman-teman lain berkesempatan buat datang lebih awal, dengan label tim advance. Meski namanya advance, sebenarnya kami nggak advance sama sekali. Yang ada malah bingung menghadapi situasi merto. Karena benar-benar belum kenal sama lingkungan, dan rasanya hampir semua sudah beres.

Di tengah semua yang serba beres itulah, yang ada kerja kami cuma tidur-tidur-tidur-tidur-tidur-tidur- dan begitu terus.
*malam sebelumnya saya nggak tidur buat menyiapkan berkas pendaftaran ke salah satu universitas swasta di Jakarta, yang harus segera dikirim. Meski akhirnya saya nggak beruntung, alias belum di terima. :p
Sayangnya, badan capek saya nggak cukup dapat kesempatan buat berbaring dengan tenang. Setiap 3-4 menit, speaker sentral selalu berbunyi. Menggaungkan suatu nama, akik. Ketua seksi perlengkapan, asal seminari mertoyudan. Menurut saya itu sedikit konyol. Karena banyak keperluan cuma di gantungkan sama satu orang akik sendirian.

1 kali, okelah. 2 kali, masih boleh. tiga kali, hrrr

empat
lima
enam
7
8
oke, ini sudah terlalu banyak.

bukan karena saya dulu pernah kerja di seksi perlengkapan(tentu tau menderitanya jadi panitia perkap) tapi karena nggak etis kalau setiap pengumuman cuma manggil satu nama.

dari situlah, dari tidur yang terusik, datanglah ide buat membajak speaker sentral, dengan sebuah acara radio. Topik awalnya tentu, mengkritisi, kenapa aki, aki dan aki.

Cukup seru, dan cukup berhasil. Berhasil membuat aki curhat tentang bagaimana beratnya hari itu.

kebetulan saja kami namai acara tersebut dengan nama reparasi hati
*yang setelah saya pikir-pikir nggak nyambung.

tapi sudahlah. namanya spontanitas?

hari-hari selanjutnya kami terus mengudara. Pernah sih satu topik nggak begitu sukses, dan pernah juga sukses berat. Ada banyaaak sekali cerita yang terjadi selama siaran dadakan itu.

Konyol ya, sebuah ke isengan yang hari ini saya rindukan. sangat saya ridukan

-buat semua yang di mertoyudan 5 hari itu-

wira adi.

Minggu, 30 Januari 2011

Saya Sampai di Malang

Malang, Indonesia

25 Januari 2011, Dini Hari.
Saya bersama 27 teman lain menginjakkan kaki pertama kali di Kota Apel, atau Kota Bunga ini.
Banyak dari kita yang baru pertama kali dateng ke Malang, dan yah, Udara dingin Malang di dini hari cukup kuat menembus jaket parasit saya, dan jaket katun teman-teman. Rasa dingin sih ga seberapa, tapi yang paling kentara saat itu, rasa resah, campur bimbang, lalu ada juga ragu-ragu.

Mungkin kalian belum tahu. Di Sekolah saya ada suatu pekan pengolahan pribadi buat seluruh siswanya. Kelas 1 dengan Studi Ekskursi-nya(yang berarti memindahkan kursi). Kelas 2 melakukan live-in(semacam study tour hati), dan buat teman-teman kelas 3, ada Gladi Rohani, sebagai persiapan menghadapi akhir-akhir masa sma.

Live-in selama ini biasa aja buat kami. Sampai ada revolusi Live-in yang dibawa oleh Mas Dwiko(baca;Romo Dwiko). Manusia yang visonaris, dan idealis. Sehingga mulai tahun ini, diadakan live-in sosial. Live-in yang buat para murid penuh dengan rasa deg-degan, dan ketakutan. Takut karena tidak siap menghadapi kejutan yang akan di dapat, mungkin.

Saya dan 27 teman saya masuk ke legiun live-in khusus. Sebelum tanggal 24, kami tendensi kata khusus bagi kami, adalah kesengsaraan yang berlebih. Singkatnya, sesuatu yang negatif. Berangkat dari pemikiran super sempit seperti itu juga, kami nggak bisa tenang sepanjang dini hari itu. Menerka-nerka apa yang akan kami hadapi.

Orang Cacat Mental yang makan kotorannya sendiri kah?
Atau anak-anak hiperaktif yang harus dipasung?
Nenek-nenek Jompo kah?
semua kemungkinan ada di masing-masing kepala kami, dan saya rasa pagi itu kami semua berpikiran satu.

"Malam perjalanan adalah malam paling nikmat yang terakhir. Setelahnya hanya ada derita dan sengsara."

Saya benci menunggu, saya benci menunggu di pinggir jalan kota malang, saya benci terlunta-lunta menunggu kepastian selama 4 jam, dari matahari masih ndelik, sampe nongol. Rasanya sudah lelah di perjalanan, masih ditambah kelelahan saat menunggu. Tapi kami semua suka tak suka masih harus menghadapi itu. Selama masa menunggu itu juga, kami diperkenalkan dengan "sampel" anak-anak yang akan kami hadapi selama 4hari ke depan.

jam 8. setelah sambutan yang singkat dan formalitas lain. Saya mulai bergabung ke "rumah baru" saya.

Saya di titipkan di Yayasan Bakti Luhur, Yayasan yang di bangun oleh Rm. Jansen Cl. Mengampu panti asuhan(di Kediri), SMK Pelayanan Sosial(baru denger kan?), Banyak SLB, Rumah Sakit, Asrama Anak cacat, Perawatan anak terlantar, Sekolah Katekis, banyak sekali! Seorang Romo Belanda yang ga kalah ok dari Romo Van Lith melihat karyanya. 89tahun hidup, dan entah sudah berapa jiwa yang di tolongnya.

Secara lebih khusus, saya dan teman-teman saya di percayakan pada Asrama Penyandang Cacat Mental Putra. Ada 12-13 Asrama, masing-masing asrama di huni oleh 2-3 Siswa dari Kolese de Britto.

JANGAN BAYANGKAN INI ASRAMA SEPERTI ASRAMA SAMI!
Ini lebih mirip dengan supadi. Rumah sederhana, lengkjap dengan kamar-kamar. Nggak banyak, cuma 2-3 kamar aja. Maksimal ada 11 klien(penderita cacat mental) tiap rumah. Ada yang hanya dihuni 4, ada juga yang lebih. Ini namanya Asrama, tapi dalam pandangan saya, ini kayak kontrakan buat anak cacat. Karena bentuknya yang nggak mirip dengan asrama itu, saya merasa nyaman sekali tinggal disana.

Lanjuttannya?
Segera :)